Sunday, September 26, 2010

Cerita tentang Lelaki yang Hobi Memasak Dari Coba-coba Jadi Bisnis

Minggu, 26 September 2010 | 12:31 WIB





KOMPAS/PRIYOMBODO
Berawal dari hobi memasak, Afit Dwi Purwanto sejak enam bulan lalu memberanikan diri memulai bisnis steak dengan bendera Steak Hotel by Holycow di bilangan Radio Dalam, Jakarta Selatan. Kini Afit total menekuni profesi barunya dan meninggalkan kerjaan lamanya sebagai karyawan di salah satu televisi swasta.
Yulia Sapthiani dan Lusiana Indriasari

KOMPAS.com — Pendiri tempat kursus masak di Jakarta, Natural Cooking Club (NCC), Fatmah Bahalwan, mengatakan, jumlah peserta kursus masak dari kaum lelaki memang masih jauh lebih sedikit dibandingkan perempuan. Persentasenya sekitar 10 persen. Tetapi, para lelaki itu sudah punya tujuan tertentu ketika datang ke NCC yang berada di daerah Matraman, Jakarta Timur.

”Peserta lelaki lebih punya fokus saat datang ke sini. Mereka sudah punya gambaran ke depan mau apa setelah kursus. Rata-rata mereka punya tujuan untuk berbisnis,” kata Fatmah.

Fatmah bercerita, dia punya peserta kursus laki-laki yang menerima pesanan makanan sambil tetap kerja kantoran. Ada juga yang menjadikan keterampilan memasaknya sebagai bekal kalau suatu saat tak bekerja lagi, misalnya saja kalau kena PHK.

Dari tujuan ini, materi kursus yang diambil peserta laki-laki cenderung berbeda dengan perempuan. Para lelaki lebih suka belajar membuat makanan yang memang banyak dijual di pasaran, seperti bakso, siomay, dim sum, donat, atau roti.

Ini berbeda dengan perempuan yang lebih suka memilih materi dengan unsur seni, seperti membuat dan menghias kue.

Meski laki-laki sudah tak asing dengan masak memasak, terkadang rasa gengsi masuk ke dunia perempuan ini tak bisa mereka lepaskan. Laki-laki seperti ini biasanya akan meminta waktu kursus yang tidak banyak dihadiri perempuan.

Sebagian besar lelaki peserta kursus adalah pekerja kantoran yang sudah berkeluarga. Beberapa di antaranya mengikuti jejak sang istri yang sudah terlebih dulu ikut kursus.

”Tadinya banyak suami yang protes karena istrinya enggak ada di rumah sewaktu hari libur. Tetapi, lama-lama mereka ikut mengantar sampai akhirnya ada yang ikutan kursus juga. Para suami ini sadar kalau masak bisa dijadikan bisnis yang bisa membantu keuangan keluarga,” tutur Fatmah.

Buka usaha

Bhayu Radityo (26) adalah salah satu peserta kursus di NCC sejak 2005. Saat ini dia ikut membantu menjalankan bisnis kue yang dijalankan ibu dan kakaknya.
 
Lelaki lebih suka belajar membuat makanan yang memang banyak dijual di pasaran, seperti bakso, siomay, dim sum, donat, atau roti.
 
Hobi memasak sejak kecil membuat Bhayu memilih memperdalam tentang tata boga melalui jalur akademis, yaitu di SMK dan saat kuliah di Akademi Kesejahteraan Sosial Yogyakarta.

”Di tempat kursus masak, saya bisa dapat pengetahuan yang tidak saya dapat saat sekolah dan kuliah. Di NCC, saya bisa dapat resep, punya banyak teman, dan dapat kerjaan juga,” kata Bhayu.

Dengan keahliannya itu, Bhayu pun sering menerima pesanan makanan sejak masih kuliah. Dia bahkan mengaku belum pernah mencari pekerjaan sejak lulus kuliah tahun lalu karena justru pekerjaanlah yang datang kepadanya. Selain bisnis bersama ibu dan kakaknya, Bhayu juga punya usaha jasa kurir untuk mengantarkan kue yang dibuat peserta kursus lainnya.

Tak hanya untuk bisnis, keahlian Bhayu mengolah makanan juga sering dimanfaatkan teman-temannya. Saat berkemah, dia selalu mendapat tugas menyediakan makanan. Tak tanggung- tanggung, masakan yang dia buat adalah piza. ”Jadi, setiap berkemah, saya bawa bahan makanan lengkap,” kata Bhayu yang memang hobi membuat makanan Italia.

Keahlian masak juga dimanfaatkan Keliek, Afit D Purwanto (30), dan Widodo Disto (42) untuk berbisnis. Keliek yang belajar masak sejak masih sekolah di SMP tahun 1977 pernah berjualan mi ayam di dekat kampusnya sambil kuliah pada tahun 1986.

Usaha mi ayam yang hampir bangkrut dia ambil alih. Dengan mengganti resep dari pedagang sebelumnya, bisnis ini berjalan kembali, bahkan lebih laris dari sebelumnya. ”Rahasianya, ayamnya diganti ayam kampung, rasa manisnya dikurangi. Banyak mahasiswa yang enggak suka manis karena enggak semuanya orang Yogya,” kata Keliek.

Sementara Afit dan Disto punya tempat makan yang sudah terkenal di Jakarta. Afit bersama istri dan dua rekannya membuka warung steak Holycow di Jalan Radio Dalam. Sementara Disto punya Kedai Disto di Jalan Cipete Raya yang menyediakan masakan serba ikan patin.

Hobi memasak dimulai ketika Disto sering membantu ibunya di dapur, terutama ketika di rumahnya digelar hajatan besar.

Memasak yang awalnya menjadi kepuasan untuk sendiri akhirnya dijalani lebih serius pada tahun 1999 dengan membuka rumah makan. Menu ikan patin dipilih supaya berbeda dengan rumah makan lain yang banyak terdapat di kawasan Cipete. ”Apalagi, tidak semua orang bisa mengolah patin,” kata Disto.

Sementara Afit membuka warung steak wagyu karena tidak puas dengan yang dijual di berbagai restoran, terutama karena harganya yang mahal. ”Saya coba bikin sendiri, sausnya juga. Ternyata kalau dihitung, biayanya bisa lebih murah,” tutur Afit, suami presenter Lucy Wiryono ini.

Jalan untuk berbisnis terbuka ketika saudara dan teman-teman menyarankan untuk menjual steak mereka. Bersama pasangan suami istri lainnya, Wynda Mardio dan Iswanda Mardio, Afit pun membuka warung tenda steak wagyu dengan harga yang lebih murah dibandingkan yang dijual di restoran dan hotel.

Setiap hari, Afit turun langsung untuk memanggang steak pesanan pengunjung. Setelah melalui perhitungan yang matang, Afit bahkan meninggalkan pekerjaan di sebuah stasiun televisi swasta untuk fokus mengurus bisnis steaknya.

”Penemuan” hasil coba-coba Afit yang menghasilkan steak wagyu murah akhirnya memang menarik perhatian banyak orang. Sejak buka pukul 18.30 setiap harinya, steak Holycow bisa habis hanya dalam waktu 3 jam.

No comments:

Post a Comment