Saturday, October 2, 2010

Si Multitalent Pencetus Kelirumologi


 

Jaya Suprana
Si Multitalent Pencetus Kelirumologi

Jaya Suprana, orang Tionghoa yang besar dalam budaya Jawa. Pria bertubuh tambun dan berkacamata tebal yang lahir di Bali, Denpasar, 27 Januari 1949 ini akrab di hadapan publik lewat acara televisi Jaya Suprana Show di TPI. Pendiri Museum Rekor MURI dan pencetus kelirumologi ini mempunyai beragam predikat – mulai dari pengusaha, pembicara, presenter, penulis, kartunis, pemain piano hingga pencipta lagu – yang diakui oleh lembaga tingkat dunia seperti Die Welt, Los Angeles Times, The Guardian, Wall Street Journal, dan Straits Time.

Semasa muda, Jaya pernah menjadi pedagang buku bekas di Semarang pada tahun 65-an. Bahkan ketika sekolah di Jerman ia tak sungkan menjadi tukang bubut, tukang pasang ubin, atau menjadi pegawai kafetaria mahasiswa. Sepulang belajar di Jerman ia sempat menjadi Manajer Pemasaran Jamu Jago, sebelum naik jabatan sebagai presiden direktur.

Setelah sekitar delapan tahun menjadi direktur di perusahaan jamu yang diwarisinya dari keluarga - yang berdiri sejak tahun 1918 - Jaya beralih ke posisi presiden komisaris. Kini, tugasnya hanya mengarahkan GBHP (Garis Besar Haluan Perusahaan) dan mengawasi kinerja perusahaannya.

Dalam berbagai kesempatan, Jaya selalu muncul bersama tokoh-tokoh politik kelas wahid di negeri ini. Meskipun begitu, Jaya tidak tertarik pada urusan politik. Di samping itu, ayahnya juga pernah berpesan agar Jaya tidak terjun ke dunia politik karena politik pada prakteknya justru sering menjadi berhala dan menguasai makhluk tertinggi ciptaan Tuhan itu.

Pada 27 Januari 1990, ia mendirikan Museum Rekor Indonesia (MURI) sebagai bagian dari visi ke depannya untuk menghimpun semua prestasi, perilaku, dan kegiatan yang unik, langka, dan kreatif. Museum yang selokasi dengan Museum Jamu Jago ini sudah menjadi objek wisata resmi Kota Semarang, Jawa Tengah.

Sebagai seorang pemikir dan penulis, Jaya mengobok-obok berbagai literatur dan media untuk mempelajari kekeliruan dan kesalahkaprahan yang telah dilakukan orang dalam kehidupan sehari-hari. Hingga akhirnya, ia memelopori istilah kelirumologi dan melahirkan buku berjudul Kaleidoskopi Kelirumologi, yang mengajak pembaca untuk lebih peka terhadap hal-hal yang dianggap benar padahal salah di tengah-tengah masyarakat. Misalkan saja, semboyan yang dipercaya masyarakat - mens sana in corpore sano (di dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang sehat). Jaya mengatakan bahwa di dalam tubuh yang sehat, belum tentu hadir jiwa yang sehat. Jaya memberi contoh Mike Tyson atau penghuni Rumah Sakit Jiwa, bertubuh sehat tapi jiwanya sakit.

Berkat kerja keras dan ketekunannya, ia memperoleh puluhan penghargaan nasional maupun internasional dalam bidang seni musik (dari Freundeskreis des Konservatoriums Muenster, Jerman, dan dari Pangeran Bernhard, Belanda), kebudayaan (Budaya Bhakti Upapradana), komputer (Best in Personal Computing Award 1995 dari Apple Macintosh Inc.), industri-bisnis (The Best Executive Award 1998), prestasi perusahaan (Trade Leader's Club, Madrid, dan Institut pour Selection de la Qualite, Belgia), lingkungan hidup (Sahwali Award 1997), kemanusiaan (Duta Kemanusiaan 1991 - 1992 Palang Merah Indonesia), dan lain-lain.

Sebagai kartunis, lulusan Musikhochschule Muenster dan Folkwanghochschule Essen, Jerman ini telah menggelarkan karyanya di Jerman, Norwegia, dan Indonesia sendiri. Sedangkan untuk urusan musik, selama ini Jaya dikenal sebagai komponis dan pianis andal yang sudah tampil di berbagai negara di Eropa, Amerika, Aljazair, Selandia Baru, dan lain-lain.

Pendidikan musik yang ditekuninya selama lima tahun membuat Jaya mampu melahirkan karya-karyanya sendiri. Ia tampil pertama kali dalam resital piano tunggal tahun 1981 di Taman Ismail Marzuki. Penampilan keduanya digelar di Erasmus Huis untuk merayakan 50 tahun usia Yayasan Pendidikan Musik (YPM). Di bidang kemanusiaan, ia ikut memelopori program donor ginjal jenazah di Indonesia.
Pada pertengahan 2003 lalu, Jaya memelopori iklan layanan masyarakat ‘Indonesia Pusaka’ dan membuat program berdurasi 60 menit ‘Di Balik Adegan Indonesia Pusaka’ yang ditayangkan di TPI di rumah produksi Jatayu Cakrawala Film.

Iklan layanan masyarakat ‘Indonesia Pusaka’ yang dibuat dalam rangka menyambut Satu Abad Bung Hatta ini merekam lebih dari 20 figur, sebagian tokoh ternama, menyanyikan lagu kesayangan Bung Hatta, yakni Indonesia Pusaka ciptaan Ismail Marzuki. Tokoh-tokoh ternama yang berhasil ‘dikumpulkan’ oleh Jaya antara lain Presiden Megawati Soekarnoputri, mantan Presiden Abdurrahman Wahid, Ketua MPR Amien Rais, dan sejumlah menteri dan mantan menteri.

Sementara dari nonpejabat ada artis Nurul Arifin, Marisa Haque, peharpa Maya Hasan, violis Idris Sardi, Ketua Persatuan Tukang Becak Jakarta, dan seorang wanita pemulung. Termasuk juga putri Bung Hatta, yakni Halida dan Gemala. Waktu itu, pada setiap sesi rekaman masing-masing tokoh, Jaya sibuk pula berfungsi sebagai pelatih menyanyi kilat, konduktor, penata musik, sekaligus editor.

Kini, di usianya yang semakin senja, tanpa seorang anak, Jaya tetap berkarya, berbuat kebaikan dan suka memberi. Ia mengangkat anak asuh dan mendirikan Panti Asuhan Rotary-Suprana. Di atas tanah warisan almarhumah ibunya, Lily Suprana, seluas 900 m2 di kawasan Candi Baru, Semarang, kini tinggal sekitar 10 orang anak. Semuanya lelaki. Perkembangan panti yang biaya operasionalnya didukung bersama dengan Yayasan Rotary ini memang bagus karena kebanyakan anak asuhnya memperoleh ranking di kelasnya masing-masing. Bahkan bagi anak yang mendapat rangking 1 diberikan hadiah atas prestasinya itu.

Sifat suka memberi tidak lepas dari didikan keras sang ayah, Lambang Suprana, yang mengajarnya untuk tidak memberhalakan kekayaan dan sadar bahwa harkat dan martabat manusia bukan diukur dari kekayaan harta bendanya, namun dari kekayaan akhlak dan imannya. Itulah mengapa, Jaya tidak ambil pusing tentang masa tuanya, karena ia tinggal ‘menunggu mati’ saja dan siap pergi ke surga.

Mengenai kesuksesan yang diperolehnya, Jaya mempunyai pandangan sendiri. Menurutnya, kesuksesan baginya belum tentu kesuksesan bagi orang lain. Ia menganalogikannya dengan olahraga lari. Baginya, ia sudah termasuk sukses mampu berlari 100m dalam waktu 10 menit, namun bagi Carl Lewis itu merupakan prestasi memalukan. Oleh karena itu, Jaya mengatakan bahwa yang penting bukan merasa sukses, melainkan mensyukuri hasil karya yang telah ia perjuangkan. (www.tokohindonesia.com, 20100

No comments:

Post a Comment