Saturday, October 8, 2011

Dondi: Kalau Hanya "Follower", Kurang...


Setelah sekitar 12 tahun malang melintang di dunia perbankan dan pembiayaan keuangan, Dondi Hananto meninggalkan kariernya tersebut demi membantu para pelaku usaha yang baru memulai bisnisnya.
"Dengan biasa bekerja dengan angka, dengan orang-orang yang numbers oriented, justru di sana butuh orang-orang yang berkreativitas tinggi," tutur Dondi yang ditemui Kompas.com pada acara Kompas Karier Fair, akhir pekan lalu.


Kreativitas yang terus diasah, itulah yang didapatkan CEO PT Kinara Indonesia ini selama bekerja belasan tahun di industri perbankan.


Selama di industri perbankan, khususnya bank swasta asing, ia pernah memasuki sejumlah bagian, seperti pemasaran kartu kredit dan risk management. "Itu terasa banget tantangannya. Banyak keluar segala macam kreativitas," kata Dondi mengenai tantangan bagaimana membuat kartu kredit yang tidak terkenal menjadi sesuatu yang prestisius di masyarakat.


Pendiri PT Kinara ini mengaku bekerja sebagai pegawai bank karena menjadi "satu-satunya" pilihan ketika itu. Kala itu, ia lulus kuliah dari jurusan teknologi informasi (TI) berbarengan dengan krisis moneter sehingga sulit mendapatkan pekerjaan.


Mengenai studinya di bidang TI, Dondi mengaku hanya sekadar nafsu saja. Bahkan, ia sempat menemukan kesulitan pada akhir-akhir masa perkuliahan. "Untungnya boleh mengambil subyek-subyek lain di luar TI. Jadi waktu itu saya ngambil bisnis, (juga) marketing," ungkapnya.


Ilmu yang dia peroleh sebagai sampingan tersebut, dan berbekal pengalaman selama di perbankan, dipakai Dondi untuk mendirikan PT Kinara Indonesia (KI). "Kalau Kinara ini, istilah kami business incubator," sebut Dondi mengenai jenis bisnis yang baru saja dia rintis ini secara sederhana.


KI didirikan untuk membantu pelaku usaha yang akan memulai bisnisnya dan perlu banyak bantuan untuk tumbuh. "Kami akan bantu dari semua sisi, termasuk kami invest juga di situ," tuturnya, yang akan menyasar usaha kecil menengah (UKM) terlebih dahulu baru bisnis berskala besar.


Sasaran usaha yang akan dibantu pun berlaku untuk semua jenis industri, mulai dari agribinis, ritel, hingga TI.
Detailnya, Dondi menjelaskan, setiap pelaku usaha sebenarnya telah mengerti dari sisi teknis, tetapi untuk strategi bisnis, manajemen perusahaan, pengelolaan keuangan, hingga bagaimana membuka akses pasar, mereka masih kesulitan. "Itulah yang kami bantu, dan juga permodalannya," ujarnya. Ia menjelaskan, KI juga akan masuk sebagai pemilik modal atau pemegang saham.


Diakuinya, perusahaan yang baru berdiri pada April 2011 ini belum mempunyai UKM yang dibina secara resmi. "Kami sedang diskusi dengan beberapa orang, tetapi belum ada yang deal," ujar pria yang pernah menjabat VP Credit Operations dan VP Risk and Portfolio Management di sebuah bank swasta asing ini.
Mengapa memilih meninggalkan karier di perbankan? Dondi mengaku, ia melihat perbankan tidak bisa melayani kebutuhan pelaku usaha yang baru merintis bisnisnya. Biasanya usaha yang baru dimulai belum punya jaminan. Sekalipun diberikan pinjaman, biasanya memberatkan karena pendapatannya masih fluktuatif. "Karena saya melihat dari pekerjaan saya, kemarin sering ketemu pengusaha-pengusaha seperti ini," ungkapnya.


Dondi mengharapkan, perusahaan yang di-invest tahun ini sudah ada yang menghasilkan pada tahun depan. Namun, mengenai target dana yang akan disalurkan, ia pun belum berani menyebutkan detailnya.
Untuk aktivitas selain mengelola Kinara, ia mengungkapkan sedang membantu Yayasan Sahabat Foundation di tempat kerjanya yang lama. Selanjutnya, ia juga akan berusaha lebih banyak berbicara mengenai motivasi dalam berbisnis dan juga cara berbisnis itu sendiri.


Inti dalam berbisnis, tegas Dondi, dana modal kesekian, sedangkan ide bisnis adalah yang pertama. "Kalau hanya jadi follower, kurang bisa (tumbuh)," ucapnya.


Dikatakan Dondi, ia banyak menemui para pengusaha yang akhirnya menyerah karena menghadapi kesukaran. Padahal, menurut dia, saat menghadapi kesulitan itulah justru pelaku usaha benar-benar dituntut untuk mencari jalan keluar.

Tuesday, October 4, 2011

Septi, dengan Jarimatika Lunasi Utang

Upaya Septi Peni Wulandari membukukan metode jarimatika dalam sebuah buku berbuah manis. Masyarakat merespons baik bukunya. Banyaknya masyarakat yang ingin mempelajari jarimatika membuat Peni akhirnya mewaralabakan metode belajar ini. Namun, usahanya sempat terganjal masalah modal dan utang.

Tahun 2003, harapan Septi untuk lebih mengembangkan jarimatika ke tingkat yang lebih luas terbuka lebar. Peristiwa itu terjadi ketika ia bertemu dengan seorang perempuan yang tertarik dengan metode yang dia kembangkan. Orang tersebut pun menyarankan Peni membukukan metode belajar jarimatika.

"Kita enggak kepikiran sampai sejauh itu," tutur Peni yang kala itu tidak memiliki komputer. Lalu Peni mengumpulkan flip chart dari hasil pengembangan metodenya ini untuk dibukukan.

Ternyata, masyarakat merespons positif penerbitan buku jarimatika tersebut. "Saat ini, buku sudah cetakan ke-13. Kalau diperkirakan, totalnya ada sekitar 130.000 eksemplar di pasar," jelas Peni.

Tak lama setelah buku jarimatika terbit tahun 2003, banyak pihak yang kemudian menghubungi Peni untuk mengisi pelatihan di berbagai wilayah, khususnya Jabodetabek. Peni pun akhirnya mematenkan jarimatika pada tahun 2005 untuk melindungi karyanya tersebut.

Ketika jarimatika sudah dikenal luas di wilayah Jabodetabek, tahun 2006 Peni sekeluarga mendapat kabar bahwa mertuanya sakit dan dirawat di Rumah Sakit Elisabeth, Semarang. Karena keluarga Peni memiliki waktu yang lebih fleksibel dibandingkan dengan saudara-saudaranya yang lain, ia memutuskan kembali ke Salatiga dan merawat ayah mertuanya selama satu bulan.

Setelah sembuh, ayah mertua Peni dibawa ke Salatiga. Di kota ini pulalah anak-anak Peni merasa nyaman dan betah. Mereka tidak ingin kembali ke Jakarta. Dan, "Saat itu, saya berpikir jarimatika di Jakarta sudah mulai berkembang," kata Peni.

Setelah menetap di Salatiga, Peni harus memulai dari nol lagi. Tabungannya pun sudah habis untuk biaya pengobatan ayah mertuanya. Lagi-lagi untuk yang kedua kalinya suami Peni mengatakan kepadanya: "Bersungguh-sungguhlah kamu pada Allah, Rasulullah, bapak dan ibu. Ketika kamu bersungguh-sungguh, maka masalah dunia, Allah yang mengatur," papar Peni menirukan nasihat suaminya.

Kekhawatiran Peni akhirnya pudar ketika banyak media yang meliput metode jarimatikanya ini. Usahanya pun berkembang tak hanya di seputar Jabodetabek, tetapi juga melebar ke pantura, mulai dari Solo sampai Bali dan Nusa Tenggara. Metodenya ini juga mulai diterima di wilayah luar Jawa. "Paling tidak sudah tersebar sampai ke 33 kota," jelasnya.

Awalnya Peni memang tidak ada niat mewaralabakan usahanya. Ia pun memungut biaya tipis saja. Namun, ia menyadari sesuatu yang digratiskan pasti pada akhirnya akan hancur karena tidak ada komitmen untuk investasi.

Peni menilai biaya investasi yang hanya Rp 3 juta kurang mempan menumbuhkan komitmen mitra usahanya. Pada tahun 2007, ia menaikkan biaya kemitraan menjadi Rp 9,5 juta. "Efeknya sangat baik, banyak mitra yang sungguh-sungguh menjadikan usaha ini sebagai sebuah bentuk investasi," tuturnya.

Peni juga sempat kewalahan menutup utang bank yang pernah ia ajukan guna membangun kantor dan mencetak berbagai perlengkapan pendukung untuk metode jarimatikanya. "Saya tidak menyangka bunga utang bank sangat memberatkan," imbuhnya.

Ia pun memberanikan diri mempresentasikan usahanya ini ke bank-bank guna mendapatkan dana pinjaman untuk bisa menutup sisa utangnya. Dari tiga bank yang didatangi Peni, dua di antaranya menolak konsep Peni. Apalagi, Peni juga tidak punya agunan untuk menjamin utangnya.

Peni harus bolak-balik Salatiga-Semarang untuk mengajukan proposal usahanya tersebut. Satu-satunya modal yang ia bawa untuk mengajukan utang kepada bank adalah kliping hasil tulisan berbagai media.

Setelah beberapa kali ditolak, Peni menemukan satu bank yang mau memberikan utang tanpa agunan. Selain mendapatkan modal usaha, Peni juga mendapat dana untuk menutup bunga bank yang melilitnya saat itu.

Jarimatika merupakan celah bagi Peni menjadi seorang pengajar sekaligus pengusaha. Dari jarimatika, banyak ibu rumah tangga yang menjadi penulis buku bertema jarimatika

Monday, October 3, 2011

Jenuh Diperintah Orang, Raup Ratusan Juta di Rumah


Bisnis catering masih menjanjikan. Pasar yang luas, plus keuntungan yang menggoda. Meski demikian, bukan berarti bisa digarap asal-asalan. Cita rasa dan harga tetap menjadi modal utama agar bisnis ini bertahan. Keahlian meracik kuliner yang didapat Edy Purwanto di sejumlah kapal pesiar dan hotel berbintang menjadi modal awal pengusaha yang mengusung bendera Pandan Leaf Catering ini.


Semua bermula dari kejenuhannya bekerja di bawah perintah orang lain. Edy mengaku lebih dari 18 tahun menggeluti dunia kuliner dan merasa jenuh keliling dari satu kapal pesiar ke kapal pesiar lain, dari satu hotel ke hotel lain.


"Setelah punya jaringan, tahun 1997 saya beranikan diri membuka usaha pribadi dengan ikut tender Rumah Sakit Pelabuhan Surabaya atau Port Health Center. Saya menang tender, dari situlah semua berawal," kenang Edy saat ditemui di kediamannya di kawasan Wonosari Kidul, Surabaya.


Sampai saat ini order terus mengalir, tidak hanya dari instansi, tetapi juga dari paket pernikahan. Dalam sebulan, ia bisa meraup omzet rata-rata tak kurang dari Rp 200 juta. Harga untuk cateringreguler mulai Rp 7.000 hingga Rp 15.000. Sedangkan paket wedding ditawarkan mulai Rp 25.000 per orang.


"Paling besar kontribusinya dari wedding service.Kalau yang reguler, saya melayani acara-acara instansi pemerintah dan perusahaan swasta serta buka kantin di Unesa (Universitas Negeri Surabaya)," ujar alumnus Akademi Perhotelan Satya Widya Surabaya, Jurusan Tata Boga, ini.


Edy menjalankan usaha catering ini dibantu 18 karyawannya. Menu yang ia racik mulai masakan Indonesia, Chinese food, Thailand food, hingga European food. "Saya menerima segala menu masakan. Soal pemasaran dan sumber permodalan, saya serahkan ke istri. Istri dulu kerja di tenaga pemasaran Bank Danamon, jadi saya punya akses untuk permodalan sampai sekarang," jelas pria kelahiran 13 Maret 1973 ini.


Suami Swary (40) ini melihat potensi bisnis catering yang masih terbuka lebar dengan perkembangan bisnis yang relatif mudah. Orang selalu butuh makan di setiap kesempatan. Tinggal bagaimana mengemas makanan itu dan membidik segmen yang pas, maka keuntungan akan terus mengalir.
"Tingginya permintaan catering untuk wedding membuat saya tertarik mengembangkan bisnis ke arahone stop wedding service. Jadi tidak hanya melayani catering, tapi juga meng-organize, mulai dekorasi, penyediaan electone dan penyanyinya," lanjut bapak satu putra ini.


Modal awal yang ia butuhkan pada 1997 cukup besar, sekitar Rp 200 juta. Sebagian hasil tabungan dan sisanya pinjam ke bank. Selain Bank Danamon, ia juga mengajukan pinjaman ke Bank Mandiri. "Kalau catering ditangani setengah-setengah, hasilnya tidak maksimal. Saya memang mau total menanganinya," imbuh Edy.


Setiap hari, ia melayani catering buat 450 karyawan di sebuah perusahaan swasta dan kantin di Universitas Negeri Surabaya. Untuk order wedding rata-rata 2-4 klien ditanganinya setiap minggu.
"Bahan baku semuanya lokal. Kalau harga bahan baku sedang mahal, harus pandai-pandai menyiasati. Seperti cabe rawit yang kemarin sampai Rp 100.000 per kg, kami siasati pakai cabe kering dan cabe merah besar," katanya.


Untuk urusan karyawan, Edy mengaku tak terlalu sulit mencari karyawan. "Karyawan sudah saya anggap keluarga. Makan dan tidur juga di rumah, karena bekerjanya kan mulai dini hari. Mereka juga tahu dapuran resep masakan saya gimana. Alhamdulillah mereka loyal. Persaingan karyawan cateringsaat ini juga ketat, jadi kita harus bisa beri perlakuan lebih agar mereka juga memberikan yang terbaik," ucapnya

Nita dan Batik Indigo


Dengan tanamanIndigofera tinctoria, atau lebih dikenal dengan sebutan tanaman nila, Mayasari Serkarlaranti atau Nita berusaha melestarikan batik Jawa dengan pewarna alami. 


"Batik indigo itu salah satu produk batik yang kami celup dengan pewarnaan dari daun alami, indigo," kata Nita kepada Kompas.com di Jakarta, Rabu (11/5/2011). Kini ia telah memiliki Galeri Batik Jawa sebagai tempat usahanya di lima kota, mulai dari Jakarta hingga Semarang. 


Dengan pewarnaan alami yang berasal dari daun indigo ini, jadilah batik yang berwarna biru, yang ia sebut dengan "Colour of The King" mengingat warna biru dipakai dalam pakaian raja-raja Jawa zaman dahulu.


Namun, sekalipun dominan biru, batik indigo pun bisa dicampur dengan warna lainnya. Untuk ini, Nita pun tetap menggunakan pewarna alami, seperti dari kulit batang mahoni untuk warna coklatnya. "Saya cuma melestarikan saja. Dulu batik Jawa semuanya pakai warna alam, salah satunya (daun) indigo," tutur wanita yang memiliki latar belakang pendidikan arsitektur dan desain interior ini.


Proses pewarnaan dengan menggunakan indigo ternyata tidak mudah. "Karena, memang terus terang proses untuk batik indigo ini masih dikatakan (bisa) 15 sampai 20 kali celupan. Sementara untuk batik-batik dengan warna biru kimia cukup dua kali celup sudah selesai," ujarnya.


Selain itu, faktor cuaca cukup berpengaruh. Panas matahari dibutuhkan untuk proses pengeringan setelah proses celup selesai. Ia pun menyebutkan, proses celupan bisa memakan waktu dua minggu hingga satu bulan. "Satu kain itu butuh minimal 10 kilogram daun indigo basah," ujarnya. Dari 10 kg daun itu dapat menghasilkan 1 kg campuran indigo.


Perkenalan batik indigo melalui pameran pun baru dilakukan tahun 2009 di Jakarta. Namun, penelitian untuk menggunakan warna biru dari daun, yang kini ditanamnya sendiri di lahan seluas 5.000 meter persegi, telah memakan waktu tujuh tahun.


Tahun 2006, saat gempa di Yogyakarta terjadi, ia pun membuat pendampingan untuk para perajin batik di Imogiri guna melakukan pencobaan proses celup dengan daun indigo. "Kalau Galeri Batik Jawa sendiri dari (tahun) 2005 sudah berdiri," ucapnya.


Di Galeri ini, 90 persen produk yang dijual merupakan batik indigo, selebihnya batik titipan dari para perajin batik desa.


Ia menceritakan, dirinya sempat mengalami kendala teknis, yaitu ketersediaan daun indigo. Sebelum membudidayakannya, ia hanya mengandalkan pencarian daun di pinggir pantai, sekitar lapangan bola, sekitar pabrik gula peninggalan zaman Belanda.


Sekalipun menemui sejumlah kesulitan, seperti kenaikan harga bahan baku, ia tetap berusaha menggunakan pewarna dari daun indigo 100 persen. Meskipun sudah ada yang menjual pewarna ini di pasar, ia tetap memproduksinya sendiri karena takut sudah ada campuran kimianya. "Intinya, sebenarnya pewarna alami untuk Indonesia ada nilai lebihnya karena kami membuatnya masih dengan proses batik," katanya.


Mengenai pemasaran, dirinya mengaku masih dalam tahap mengenalkan batik indigo ini agar dikenal oleh masyarakat Indonesia dulu sebelum menembus ke luar negeri. "Belum. Lebih banyak (promosi) dalam negeri," ungkapnya.


Namun, ia pun tidak menampik jika ada permintaan hadir di pameran-pameran yang diadakan di luar Indonesia. "Tapi, di luar negeri, sering juga KBRI Jepang, Singapura. Kami diundang ke pameran," tuturnya.


Harga batik indigo ini tidak jauh berbeda dengan batik pada umumnya, yakni berkisar Rp 245.000-Rp 1,2 juta per produknya. Saat ini ia mempunyai 20 pekerja untuk proses pencelupan. Adapun untuk proses menenun hingga menulis dengan canting, pihaknya bekerja sama dengan para perajin

Modal Rp 2 Juta, Kini Punya 25 Pekerja


Belajar dari pembeli dan melihat tren di pasar, kini Wawan si perajin gelang kayu dari Situbondo, mampu memasarkan produknya hingga ke India. "Saya tahun 2002 mulai usaha ini, tapi dimulai dengan gantungan kunci," ujar Wawan kepada Kompas.com, di Jakarta, Minggu ( 30/5/2011 ).


Selang empat tahun setelahnya, ia pun mencoba untuk membuat gelang dari kayu. Pemilik Mentari Handycraft ini membuat produk ini karena melihat pasarnya di daerah Yogyakarta dan Bali cukup besar.


"Dari (gelang) polos, kita kreatif, ada ukir, ada gelang dengan menggunakan tambahan (penghias) pasir. Jadi gelang kayu dilapisi pasir laut," ungkapnya, yang memulai usaha dengan modal Rp 2 juta, untuk pembelian kayu.


Ia terus berinovasi dalam membuat gelang ini. Berbagai macam warna, hingga pemakaian gliterdicobanya. Bukan hanya gelang yang dihasilkannya, jika ada permintaan barang seperti tas, kalung, hingga cincin dari kayu akan diladeninya. "Kalau ada pesanan apapun, akan saya kerjain. Asal dari kayu," tuturnya.


Usaha yang dikerjakan bersama dengan adiknya ini, memiliki 25 orang pekerja. Di mana pekerja ini, ia rekrut dari masyarakat setempat. Bahkan mereka yang sedang pengangguran pun ia ajak.
Kayu yang ia pakai untuk kerajinan ini, disebut kayu mimbo. Namun, kalau di Situbondo sedang kosong untuk kayu tersebut, maka ia mendapatkannya dari Asembagus, hingga Banyuputih. Untuk ketersediaan kayu tersebut, ia memiliki 25 orang yang menjadi supliernya.


Mengenai persaingan di usaha sejenis, ia menyebutkan masing-masing daerah punya motif yang berbeda. Bahkan ada puluhan perajin yang berada di jenis usaha yang sama di kota asalnya, Situbondo. "Ya puluhan. Dan juga kebanyakan yang bikin itu dia jual mentahan juga. Kalau saya jual yang sudah jadi," tuturnya.


Sebagaimana usaha rakyat lainnya, modal menjadi kendala Wawan untuk mengembangkan usahanya. Karena setiap pesanan, ia butuh uang muka sekitar 50 persen dari jumlah pesanan untuk modal pembuatan. Nah, kesulitannya, ia menuturkan kalau pembeli mau bayar jika pesanan sudah selesai.
Ia mengungkapkan pernah masuk sebagai mitra binaan dari Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Tidak bertahan lama karena jaminannya harus besar. Sedangkan pendapatan yang ia punya masih terbilang kecil.


Dari segi omzet, meski tidak menyebutkan angka pastinya, Wawan mengaku bisa memanen uang jika musim libur tiba.  Saat liburan, menurutnya omzet bisa mencapai 200 persen dari normal karena permintaan dari Bali dan Jogja biasanya naik.


Mengenai produksi, ia menyebutkan bisa memproduksi 6.000 gelang per harinya dengan rentang harga jual dari Rp 5.000 hingga Rp 30.000. Angka tersebut merupakan produksi rata-rata mengingat produksinya biasanya berdasarkan pesanan. Dan, wilayah yang jadi pemasarannya di Indonesia, yaitu Jogjakarta, Surabaya, dan Bali. "Cuma dari Bali ya itu ada yang dikirim ke Malaysia (dan) India," sebutnya, yang dikirim melalui distributor.


Ia menuturkan, gelang banyak disukai turis asing karena bahannya yang alami. Selain pengiriman ke daerah tersebut, ia juga menitipkan barangnya di sejumlah rumah makan dan toko.


Pria yang pernah mencicipi dunia media selama 15 tahun ini pun mengungkapkan akan mencoba bahan tambahan lain seperti pelepah pisang dan kulit telur bagi karyanya. "Yang penting alam," serunya.
Ia juga akan coba membuat kalung berbahan kayu dan batok kelapa. Sementara bahan, ia akan tetap memakai kayu, sebagai bahan utama. "Karena ada (bahan) alam di tempat saya paling banyak itu kayu. Jadi kita manfaatin apa yang ada di alam kita, di Situbondo," sebutnya

Wednesday, September 28, 2011

Sempat Ditolak Bank, Kini Raup Puluhan Juta


Tiada uang, Syammahfuz Chazali mengawali usahanya pada akhir 2007. Proposal pinjamannya ditolak bank. Modal diperoleh dari berbagai penghargaan yang menghampirinya. Kini, setelah 3,5 tahun berlalu, pemuda ini bisa menghasilkan puluhan juta rupiah sebulan. Ia pun banyak dicari perusahaan luar negeri yang tertarik pada idenya.

Nama Faerumnesia 7G sengaja dipilih Syammahfuz Chazali sebagai bendera usaha. Faerumnesia adalah akronim dari feses (kotoran), ruminansia (lambung sapi), dan Indonesia. Adapun 7G singkatan dari 7 orang gigabit. "Artinya, karya Indonesia dari kotoran sapi. Tujuh orang terdiri dari lima mahasiswa dibantu dua dosen," tutur Syam, panggilan karibnya.

Syam tak sendiri mendirikan Faerumnesia 7G ini. Ia dibantu 4 kawan kampusnya dan dua dosen dari jurusan Agribisnis dan jurusan Tanah.

Bila bulan ini ia berkutat hanya memproduksi 3.000 bata, bulan depan, kapasitas produksinya meningkat 10 kali lipat. Ia harus membuat 30.000 bata seharga Rp 3.000 per buah. Alhasil, Syam pun bisa mengantongi omzet Rp 90.000.000, Juli nanti.

Sekarang saat saya sudah produksi, sudah punya omzet besar, bank-bank itu datang ke saya menawarkan bantuan. Saya tolak semuanya
-- Syam


Selain sibuk memproduksi bata, Syam juga harus meladeni permintaan beberapa perusahaan dari dalam dan luar negeri. Perusahaan-perusahaan itu hendak mengadopsi ide pemanfaatan kotoran sapi.
Perusahaan-perusahaan di luar negeri itu, antara lain dari Kenya, India, Meksiko, Venezuela, Italia, Belanda, dan Amerika Serikat. "Yang paling berminat itu perusahaan dari India. Dia sudah hubungi saya berkali-kali," kata Syam yang lahir di Medan, 5 November 1984, itu.


Tentu perusahaan tersebut tidak datang begitu saja. Mereka mengetahui adanya produk bata Syam ketika Tim Prasetiya Mulya Businees School (Tim PMBS) meraih juara pertama di Global Social Venture Competition, April 2009. Kompetisi rencana bisnis pemanfaatan limbah ini digelar di Universitas Berkeley, Amerika Serikat.


Kala itu PMBS mengajak EcoFaeBrick sebagai obyek rencana bisnisnya. EcoFaeBrick adalah nama produk bata dari Faerumnesia 7G. Batu bata dari kotoran sapi ini lebih ringan dari batu bata tanah liat. Namun, daya tekan EcoFaeBrick 20 persen lebih kuat.


Bata buatan Syam menggunakan kotoran sapi dengan kadar 75 persen. Sisanya, proses pemanasan biogas. Proses ini mampu menggantikan emisi CO2 yang dihasilkan dari pembakaran saat memproduksi bata dari tanah liat. "Saat menang itu, saya dan teman-teman diliput media massa di sana. Akhirnya banyak perusahaan mengenal kami," tutur Syam.


Di AS, banyak orang mengomentari EcoFaeBrick. "Alhamdulillah, bagus. Mereka berpikir kotoran sapi bisa jadi solusi bagi negara yang menghasilkan CO2 tinggi," ungkap Syam.


Sepulangnya ke Indonesia, beberapa perusahaan mengontak Syam. Mereka minta ilmu pemanfaatan kotoran sapi kepadanya. Namun, informasi itu tak diberikannya secara lengkap. Ini karena penggunaan kotoran sapi sebagai kerajinan bermerek Faerumnesia 7G sudah dipatenkan pada 2007.
Berkat kotoran sapi, Syam meraih banyak penghargaan. Ia pernah masuk delapan besar nominator Wirausaha Muda Mandiri Regional Jateng-DIY dan 50 besar peserta Intensive-Student Technopreneurship Program RAMP.

Syam juga menggondol juara I Lomba Bisnis Plan Pemuda dan Olahraga pada 2007. Syam pun pernah menerima penghargaan dari Rektor UGM sebagai Mahasiswa Berprestasi di Bidang Kewirausahaan pada 2007.

Sayangnya, penghargaan itu cuma jadi lambang. Syam tak pernah menerima dana untuk mengembangkan usahanya. Tidak dari perusahaan swasta, tidak juga dari pemerintah. "Padahal kalau pemerintah mau membantu, kami bisa menembus pasar luar negeri," kata Syam.
Saat Faerumnesia 7G baru lahir, Syam menghampiri sebuah bank. Ia minta pinjaman modal. Namun, bank itu menolak permintaannya dengan berbagai alasan. Akhirnya, dengan tertatih-tatih, Syam mengumpulkan modal dari kemenangannya di berbagai kompetisi.

Akhirnya, terkumpul Rp 4,5 juta sebagai modal awal yang digunakan untuk membeli bahan baku dan menyewa alat. Syam pun bekerja sama dengan seorang perajin di Godean. "Sekarang saat saya sudah produksi, sudah punya omzet besar, bank-bank itu datang ke saya menawarkan bantuan. Saya tolak semuanya," kata Syam.

Syam benar-benar membangun usaha dari nol. Ia tak mengeluarkan sepeser pun dari kantong pribadinya. Hanya ide yang ia tawarkan. "Saya bertarung sendiri sejak awal," ujarnya. 

Monday, September 19, 2011

Berawal Pesan-antar, Merambah ke Restoran


Bisnis makanan yang dimulai dengan konsep pesan-antar alias delivery bisa bertumbuh menjadi restoran dengan jaringan luas. Lihat saja kiprah bisnis Tri Prasetyo, pemilik jaringan restoran Matur TengkYu.


Sukses berbisnis kuliner dengan sistem deliverymembuat Tri percaya diri membuka restoran di awal tahun ini. Lantaran restorannya membidik segmen mahasiswa dan pekerja kantoran, Tri mengutamakan harga yang terjangkau. Ia menetapkan harga seporsi sajian ayam atau ikan gurami mulai dari Rp 11.000 hingga Rp 15.000.


Lantaran sudah lebih dulu terkenal dengan konsep pesan-antar, Tri pun menawarkan menu-menu yang sama di restorannya. Sebut saja ayam kampung panggang klaten, ayam kremes, dan nasi boks ayam. "Untuk menu ikan, ada gurami bakar dan gurami asam manis," terang Tri.


Meski menunya sama, Tri yakin para pelanggan Matur TengkYu yang biasa memesan menu lewat telepon akan beralih ke restoran.


Apalagi, dengan konsep restoran, Tri menyadari, masakannya harus benar-benar lezat. Maka, dia tak pelit memberi bumbu. "Kami memberi bumbu pada beragam sajian kami berkali-kali," ujarnya.
Misalnya, untuk membuat ayam dengan rasa gurih, Tri merendam ayam dengan santan kepala yang memberikan rasa gurih, manis, dan asam. Tak hanya itu, "Sebelum direndam, kami melumuri ayam itu dengan bumbu agar rasanya melekat," kata Tri yang menjamin semua bahan baku sajian Matur TengkYu dalam kondisi segar dan higienis.


Promosi jadi kunci


Agar restorannya sukses, Tri pun mengatur strategi promosi. Ia membuat promo harga supermurah paket menu di restoran Matur TengkYu. "Dengan harga Rp 3.000, para pelanggan dapat membeli nasi, ayam lengkap dengan pecel, sambal, dan minuman," tutur Tri sembari promosi.


Lelaki asal Yogyakarta ini juga menyediakan lima paket nasi boks gratis dan diskon 50 persen di hari-hari tertentu. Tri yakin, dengan promosi yang bagus, omzet restorannya akan meningkat cepat.


Terbukti, pendapatan gerai restonya di Yogyakarta bisa mencapai Rp 80 juta setiap bulan. Omzet yang lumayan besar ini mendorongnya menawarkan konsep kemitraan. Apalagi, sebelumnya, Tri sukses menjaring 10 mitra dalam kemitraan pesan-antar.


Tri menawarkan paket investasi restoran senilai Rp 180 juta. Tak hanya dapat berjualan dalam bentuk restoran, dalam paket ini mitra juga bisa menjual beragam menu itu secara delivery.


Tri mengharuskan calon mitra memiliki bangunan seluas 100 meter persegi. "Lokasi tersebut harus memiliki area parkir yang luas dan jaringan listrik minimal 2.200 watt," ujarnya. Karena juga memberikan layanan pesan-antar, mitra wajib menyediakan kendaraan sendiri.


Dengan asumsi penjualan 100 porsi tiap hari, Tri pun menghitung, mitra bisa meraup omzet Rp 1,5 juta tiap hari. "Masa balik modal sekitar 22 bulan," ujarnya.


Menurut Erwin Halim, pengamat waralaba dari Proverb Consulting, bisnis makanan memiliki prospek cerah asal ada perbedaan dan keunikannya. Ia melihat keunggulan Matur TengkYu terletak pada konsep pesan-antar. Karena itu, Erwin meragukan penawaran kemitraan restorannya bisa berkembang. "Yang jelas, mereka harus hati-hati dan berusaha agar mitranya tidak mengalami kegagalan," ujarnya.

Bambang, dari Pengelola Hotel Jadi Petani Kopi


 Bermodalkan hanya kebun seluas dua hektar, dan pengetahuan dari pelatihan, maka jadilah Bambang Sriono menjadi salah satu dari 14 pengusaha kopi bubuk di Kecamatan Sumberwringin, Kabupaten Bondowoso, Jawa Timur, yang terus bertahan hingga kini.


Bambang, yang juga Ketua Asosiasi Petani Kopi Indonesia (APEKI) Bondowoso, menyebutkan menjadi petani merupakan pekerjaan yang mendatangkan kesejahteraan dibandingkan dengan pekerjaan sebelumnya. Ia sempat menjadi sales bahan bangunan, hingga pengelola hotel. "Jadi, kalau dilihat dari latar belakang pendidikan itu nggak ada. (Pendidikan) saya dari teknik kimia. Sekarang petani kopi," ungkapnya sembari tertawa kecil, kepada Kompas.com, usai menghadiri peluncuran perdana kopi hasil perkebunan rakyat ke Swiss, di Bondowoso,  10 Juni 2011 lalu.


"Jadi ilmu saya yang saya dapat dari Puslit, saya terapkan. Ya, jadi modalnya kemauan," sebutnya.
Menurutnya ilmu dan tanah, juga kemauan tersebut menjadi modal awalnya baginya, sehingga ia merasa tidak terkendala oleh dana. Bahkan saat ini, lembaga perbankan ramai menawarkan bantuan dana. "Seperti Bank Indonesia ini lewat CSR (Corporate Social Responsbility)-nya. Terus, dari Puslit, ilmu dan teknologinya," ungkapnya.


Ia pun mulai bertani sejak tahun 2000 . Selang enam tahun kemudian, ( 2006 ), ia pun mulai menelurkan  merek Rajawali, untuk kopi bubuk arabika dan robusta. "Cuma waktu itu kemasannya pakai seperti itu (kemasan plastik biasa)," ungkapnya. Akhirnya kemasan pun berubah seiring dengan masukan dari Bupati setempat.


Saat itu, ia mematok harga produknya hanya Rp 3.500 per 200 gram. Kini harganya mencapai Rp 8000 per 160 gram untuk robusta, Rp 15.000 untuk arabika dengan satuan berat yang sama.
Ia mengaku bahwa dialah petani yang mengawali memanen kopi dengan "petik merah," dan proses menggunakan proses basah (wet process), di Bondowoso. Apa maksudnya petik merah? Ia menyebutkan selama ini panen yang dilakukan petani di wilayah tersebut, masih mencampur antara biji kopi yang berwarna merah, kuning, dan hijau pada saat panen. "Nah, kalau kami sudah petik merah dari 2005 . Jadi khusus yang buah merah segar dan sehat (BMSS), sebagai syarat untuk mendapatkan mutu berkualitas ekspor," tambahnya.


Petik merah baru dilakukan di lima kelompok tani, atau sekitar 152 petani kopi, mulai tahun 2011 ini, setelah mendapatkan binaan langsung dari Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia. "Jadi saya yang pertama kali melakukan itu di tingkat petani di Bondowoso," sebutnya.


Menurut dia, sebenarnya  pada pelatihan yang dikirim oleh Dinas Perkebunan dan Kehutanan Bondowoso tersebut, ada beberapa petani yang juga dikirim selain dirinya. Tetapi hanya dia yang mengaplikasikannya sendiri.


Adapun proses basah adalah pengolahan pasca-panen dengan menggunakan air. Media ini digunakan untuk memisahkan biji yang bagus untuk diolah lebih lanjut dengan biji yang tidak bagus. "Selama ini petani kan pakai dry process (DP). Begitu dapat dari kebun langsung dijemur dengan kulitnya," ungkapnya.


Cara pengerjaan ini memang terbilang repot, dan butuh ketelatenan. Oleh karena itu, ia menyebutkan, mungkin ini menjadi alasan dari petani yang juga ikut dikirim bersama dengan dia, tidak menerapkannya. Sekarang banyak yang tertarik ikut melakukan proses ini, setelah melihat harga yang didapat lumayan besar.


"Kalau sekarang ini dengan didampingi Puslit (Kopi dan Kakao), terus ada BI (Bank Indonesia), terus semuanya komponen ada. Rupanya kita jadi tahu pasarnya. Jadi lewat eksportir, kita sudah tahu harganya dan jelas pasarnya," ungkapnya.


Sekarang memang sudah dibangun kluster kopi di Bondowoso, oleh sejumlah pihak seperti Pemerintah Daerah Kabupaten Bondosowoso, Bank Indonesia, Bank Jatim, ADN Perhutani, eksportir, serta APEKI, untuk mengembangkan produk.


Saat ini, ia pun mempunyai lima pekerja dalam mengolah kopi bubuknya, dan mengelola kebunnya yang seluas dua hektar. "Jadi sebelum dikemas, kita perlu uji dulu cita rasa dan timbangannya," tuturnya, yang merupakan bagian dari pekerjaannya selain mengawasi kebun dan pengolahan.


Pada tahun 2007 , produk kopi bubuk Rajawali, baik arabika dan robusta, dipasarkan ke Sumatera, termasuk Jakarta, Semarang, dan Malang. Namun, pemasaran ke kota-kota tersebut masih kecil, dengan 10-20 kilogram per bulannya. Awalnya pemasaran ke kota-kota tersebut, tidak dilakukan secara resmi. "Dititipkan lewat saudara-saudara, baru kemudian berkembang," ungkapnya.


Saat ini, ekspor produk Rajawali ini pun belum dilakukan. Ekspor masih dalam bentuk biji bersama dengan kelompok tani lainnya, yang melakukan pemasaran internasional secara perdana ke Swiss pada November nanti, sebanyak 1 kontainer atau sekitar 18 ton.


Lagipula, lanjut dia, produksi kopi ini pun masih terbatas. Sehingga memenuhi permintaan pasar masih sering kewalahan. Apalagi menjelang Hari Raya Lebaran, di mana banyak pesanan parcel diisi dengan produk kopinya.


Rencana ke depan, ia berkeinginan untuk memperluas lahannya. "Kalau mau mencermati nggak ada sejarahnya kopi bubuk itu harganya turun," sebutnya. Maka ia pun heran, kalau ada pelaku usaha kopi bubuk yang kurang menekuni usahanya.


Selain perluasan lahan, Bambang, yang juga Ketua Forum 'Ahli' Pertanian Madani (Rumah Tani) Bondowoso, pun akan mencoba diversifikasi produk kopi, seperti buat dodol kopi, dan permen rasa kopi.

Fulus dari Bisnis Menjaga Kepala Bayi Tetap Mulus


Christophorus yang akrab disapa Olus mengaku sebagai satu-satunya produsen bantal kesehatan bayi di Tanah Air. Dengan merek Olus Pillow, dia berhasil mengembangkan penjualan bantal hingga ke berbagai kota besar di Indonesia. Omzet Olus pun bisa mencapai Rp 18 juta per bulan.


Produk perawatan dan kesehatan bayi semakin bervariasi. Seperti yang ditawarkan oleh Christophorus yang akrab disapa Olus yang memproduksi bantal kesehatan khusus bayi sejak 2009 lalu.


Bantal kesehatan bayi dengan merek Olus Pillow ini dipercaya mampu mencegah rambut pitak dan kepala peyang. Mengawali pemasaran di Bandung, bantal kesehatan bayi ini dianggap sebagai terobosan karena belum memiliki pesaing di dalam negeri.


Bantal buatan Olus ini bisa digunakan bayi yang baru lahir hingga usia sembilan bulan. Olus Pillow dapat membantu membentuk kepala sang buah hati menjadi bulat sempurna. "Sehingga tidak akan ada lagi penyesalan di kemudian hari," tutur Olus.


Ia mengaku mendapat ilmu pembuatan bantal kesehatan bayi dari seorang dosen di sebuah universitas negeri di Bandung. Berbekal pengetahuan dari dosen itulah, Olus mulai mengembangkan dan memasarkan sendiri bantal kesehatan bayi. Dia juga melakukan penyempurnaan dari segi material. "Saat ini, Olus Pillow bebas dari unsur dan proses kimia," imbuh ayah satu anak ini.


Setelah melakukan banyak trial and error, Olus yang dulunya bekerja sebagai general manager di salah satu restoran di Bandung ini akhirnya berhasil memformulasikan bantal kesehatan bayi yang tidak membahayakan pemakainya.


Dengan modal awal sebesar Rp 3 juta, dia kemudian membekali orang kepercayaannya untuk membuat dan menyuplai bahan baku bantal. Selanjutnya bantal itu dibelinya kembali untuk dijual dengan pemberian sentuhan akhir berupa sarung bantal.


Bantal kesehatan bayinya mendapat respons positif dari masyarakat. Bahkan, permintaan bantal terus meningkat. Saat ini, dia sanggup memenuhi 300 unit pesanan bantal kesehatan bayi per bulan. Tak hanya di Bandung, Olus Pillow juga merambah Jakarta, Surabaya, Palembang, Gresik, Yogyakarta, dan Medan.


Dengan harga Rp 60.000 per buah, Olus bisa meraup omzet sekitar Rp 18 juta per bulan. Saat ini dia berencana untuk terus mengembangkan pasar bantal kesehatan bayinya ke Denpasar, Bali. Di Pulau Dewata itu, dia membidik lima toko perlengkapan bayi besar. Jika rencana itu berhasil, maka akan menambah titik distribusi Olus Pillow yang saat ini sudah ada di 41 toko.


Dari jumlah toko tersebut, ia mengaku, konsumen paling banyak berasal dari Bandung. Bahkan, hampir 90 persen toko perlengkapan bayi di Bandung telah menjadi langganannya. Dengan sistem konsinyasi, maka keuntungan penjualan harus dibagi antara dia dan pemilik toko.


Untuk distribusi di luar Bandung dan Jakarta, toko diharuskan membayar sejumlah uang sebagai deposit. Toko nantinya akan ditunjuk sebagai distributor dan agen sehingga bisa melakukan penjualan kepada reseller. Selain penjualan langsung, Olus juga menjual via internet.


Untuk menjaga kepuasan pelanggan, Olus berusaha untuk terus meningkatkan mutu dan kualitas meskipun ia belum pernah mendapat keluhan dari pemakai produknya. "Selama ini tidak pernah ada keluhan baik mengenai mutu barang atau pengiriman barang yang tidak sampai. Kalau soal mutu saya berani jamin," ujarnya.


Ia mengaku telah mencobakan bantal kesehatan kepada putrinya sendiri. Ia membuktikan, jika dulu kepala sang putri sempat peyang, setelah rajin memakai bantal kesehatan Olus Pillow, saat ini kepala putri tercintanya itu telah kembali enak dipandang. "Karena itulah saya yakin dengan kualitasnya," ujar Olus.

Dengan Kreasi Sisik Ikan Raup Rp 10 Juta


Limbah ikan kakap ternyata bisa disulap menjadi aksesori dan pernak-pernik nan cantik dan diminati pasar hingga mancanegara. Dengan sentuhan kreativitas, Theodora menciptakan gelang, bros, anting, bunga dan juga hiasan foto yang semuanya berbahan baku sisik ikan kakap. Dari hasil olahan sisik ikan itu, Ia mampu mendulang omzet hingga Rp 10 juta per bulan.


Barang sisa ternyata tidak selamanya terbuang sia-sia. Dengan sentuhan tangan kreatif, barang sisa atau limbah bisa mendatangkan rezeki. Seperti yang dilakukan Theodora de Lima, yang mengolah sisik ikan kakap yang terbuang menjadi aneka bentuk aksesori dan pernak-pernik perhiasan, seperti gelang, bros, anting, bunga dan hiasan foto.


Lulusan Teknologi Pengolahan Hasil Perikanan di Universitas Pattimura ini mengolah sisik beragam ikan kakap, baik ikan kakap berwarna merah, hijau, merah muda, kuning maupun sisik ikan kakap warna putih. Setelah terkumpul, sisik tersebut dirangkai menjadi satu sehingga bisa membentuk salah satu jenis aksesori atau pernak-pernik.


Setelah selesai, Theodora menjualnya dengan harga beragam, tergantung bentuk aksesori yang dia produksi. Harga termurah, Rp 25.000 per unit. Tapi ada juga yang dijual Rp 300.000 per unit.
Dalam sebulan, dia bisa meraup omzet hingga Rp 10 juta. Tapi, untuk mendapatkan omzet tersebut, Theodora harus bertandang ke mana-mana untuk mengikuti pameran. Banyak sudah lokasi pameran yang ia sambangi, bahkan ia juga beberapa kali mengikuti pameran yang berlangsung di negeri Kincir Angin, Belanda.


Tak hanya di luar negeri, dia juga aktif ikut pameran di dalam negeri. Sebut saja pameran yang digelar di Jakarta, Bandung, Bali, Yogyakarta, Makassar, dan Manado. "Pada setiap pameran, produk kerajinan sisik ikan kami habis terjual," jelas perempuan kelahiran Salatiga, Jawa Tengah 47 tahun silam itu.
Bermula dari pameran itulah, kerajinan tangan Theodora dikenal pembeli mancanegara. Banyak pembeli dari Belanda, Australia, dan Hongkong menghubunginya, bahkan ada yang datang ke kediamannya di Ambon.


Theodora sengaja memilih Ambon menjadi lokasi produksi, karena warga Ambon gemar konsumsi ikan kakap. Alhasil, pasokan sisik ikan kakap terjamin. "Ikan kakap tak hanya memiliki daging yang berprotein tinggi, tapi sisiknya bernilai ekonomi tinggi," tambah Theodora.


Ide mengolah sisik ikan muncul ketika ia berkunjung ke Yogyakarta. Saat itu, dia melihat kerajinan kancing bantal berbahan tempurung kelapa. ”Saat itu muncul ide mengolah sisik ikan menjadi bunga,” tutur pemilik kelompok Usaha Bersama Mama Theodora di Wayame, Ambon ini.


Bicara soal produksi, Thedora mengaku belum bisa mematok target. Sebab, saat ini, produksinya sesuai dengan pesanan yang datang. "Ketika ada permintaan dalam jumlah banyak, kami menjadi kewalahan," kata Theodora.


Selain untuk ekspor, kerajinan sisik ikan kakap juga banyak digemari karyawan perkantoran pemerintah, swasta mau pun dari organisasi masyarakat. Pesanan biasanya datang saat ada acara-acara besar di Maluku, seperti pelaksanaan Sail Banda Agustus 2010 lalu. Tak hanya itu, banyak juga warga keturunan Maluku di Belanda gemar memesan kerajinan sisik ikan itu secara berkala.


Karena bahan baku sisi terbatas, Theodora mendatangkan sisik ikan kakap dari Dobo, Kabupaten Kepulauan Aru, Maluku. Sisik ikan yang berwarna putih itu juga dibuat aneka warna sesuai dengan kebutuhan produksi. Agar pasokan bahan baku lancar, Theodora mempekerjakan tenaga khusus untuk mencari limbah sisik ikan kakap tersebut.


Sementara itu, pekerja terampil yang dia rekrut di bengkel kebanyakan berstatus mahasiswa yang butuh pekerjaan sampingan. "Sudah banyak mahasiswa yang lulus dari sisik ini," kata Theodora.
Saat ini Theodora kesulitan mencari bahan baku pendukung produksi, seperti pengadaan lembaran aluminium, yang harus dia datangkan jauh-jauh dari Pulau Jawa.

Sampah Plastik Itu Kini Digemari Pembeli Asing


Berawal dari melihat sampah yang berserakan setelah terjadinya gempa di Bantul, Yogyakarta, yang terjadi pada tahun 2007, Agustina Sunyi, tergerak untuk mengolah barang yang tidak berguna itu menjadi berbagai macam kerajinan yang menarik. "Saya baru mulai Juni 2009. Belum pernah usaha sebelumnya. Pernah kerja sebagai karyawan di Gramedia," tutur Agustina, pemilik dari usaha Kreasi Limbah Plastik "Sumber Rejeki" kepada Kompas.com, dalam pameran kerajinan di Jakarta Convention Centre, Senayan, beberapa waktu yang lalu.


Ia menyebutkan, awalnya hanya sekadar iseng. Keisengannya ini pun akhirnya mampu dikembangkannya melalui sebuah proses. Agustina yang juga merupakan kader gizi posyandu di wilayahnya, bersama dengan kader yang lain, mengadakan kunjungan ke tempat pengolahan sampah (TPS) pada  2008.


Di TPS itu, ada juga pengolahan sampah yang menghasilkan berbagai produk kerajinan, di antaranya tas yang dibuat dari bekas plastik-plastik kemasan produk. "Saya beli tas (dari kemasan) Molto di tempat pengolahan sampah. Saya pun tertarik untuk buat. Sayangnya, saya enggak bisa jahit," cerita dia.
Nah, meskipun ia tidak mampu menjahit, ia pun tidak putus asa. Kemudian, ia mengajak ibu-ibu di sekitar tempat tinggalnya untuk, pertama, pilah-pilah sampah. Baru setahun kemudian, yaitu tahun 2009, ia mempunyai niat untuk kursus menjahit. "Nyoba-nyoba belajar nyambung dulu, seperti buat produk taplak, yang mudah," ujarnya.


Akhirnya, ia pun mengajak teman-temannya yang bisa menjahit. Ada tiga orang yang membantunya untuk menjahit. Modal atau bahan bakunya pun didapatkan dari mengumpulkan sampah dari rumah masing-masing. "Barang yang sudah dibuat, saya pakai waktu ada pertemuan di kelurahan. Ya, pamer buatan sendiri. Terus ada yang minta buatin," sebutnya sembari tertawa.


Alhasil, ia pun mendapatkan kenalan untuk menjualkan produknya. "Akhirnya punya semangat untuk nambah koleksi, seperti tempat tisu, dompet, dan lainnya," tambahnya.


Ia yang bertempat tinggal di Bantul ini, akhirnya dapat memasarkan produknya sampai Jakarta. Pesanan pun terus membanjir. Bahkan, karena usahanya yang semakin besar ini, ia diajak pengurus di kecamatannya untuk pameran di Benteng Vredeburg, di Yogyakarta pada Juni 2009.


Karena pameran tersebut, ia pun menambah lagi produksinya. Bahan bakunya pun ia tambah dengan cara membeli dari TPS. "Waktu pameran, ternyata ada penjual produk yang sama. Tapi saya lebih laris, karena variasi produknya lebih banyak dan saya kasih harga promosi," ujar ibu dari tiga anak ini.
Dari pameran itulah, mulai banyak pemesanan, bahkan konsumen yang berkunjung langsung ke rumah untuk melihat proses produksinya. "Dari situ berdatangan pembeli, termasuk  buyer dari Jerman. Ada 18 item yang dibeli. Satu item dibeli dengan jumlah dua lusin," tambah dia.


Akhirnya, ia pun menambah jumlah pekerjanya termasuk tenaga penjahit menjadi 20 orang. Tidak hanya itu, pembeli pun banyak memberikan ide untuk menambah kreasi produknya. "Bahkan, ada sampel produk saya yang sudah dikirim ke Kanada," ujar dia.


Ada juga, lanjut dia, buyer yang membeli sekitar 500 buah produk, tapi dia kurang tahu akan dijual ke negara mana. Sekalipun menambah jumlah pekerja, ibu ini pun tidak tinggal diam. "Saya harus buat juga. Saya harus bisa," imbuhnya.


Memang, ia yang enggan menyebutkan detail berapa hasil penjualannya ini hanya berujar pendapatannya pasang surut. Penghasilannya besar jika ada pameran atau pesanan partai besar.
Kini, usahanya pun berhasil menarik perhatian para mahasiswa untuk belajar mengelola sampah. Rumah usahanya pun pernah dikunjungi oleh mahasiswa dari Universitas Tulang Bawang, Lampung. Dengan pekerjaannya ini, ia berhasil membantu suami untuk menyekolahkan anaknya yang kini telah menginjak perguruan tinggi dan sekolah menengah atas. Bahkan, ia pun telah membuat buku panduan untuk mengolah produk buangan, dan sering diajak untuk memberikan pelatihan

Friday, September 16, 2011

Dulu Kurir, Kini Buka 100.000 Toko


Dengan modal awal dana hasil meminjam kepada atasan, kini Hengky Setiawan berhasil menjadi atasan dalam bisnis di dunia telekomunikasi. Kini ia sudah menjadi CEO Telesindo Shop.


Hengky menceritakan, awalnya dia berkecimpung di dunia telekomunikasi dengan memberanikan diri jual beli ponsel bekas dengan modal pinjaman. "Tahun 1987 (saya) jadi kurir (di toko sparepart mobil). (Selama) tahun 1989-1990, saya memberanikan diri pinjam dari bos (sebesar) Rp 5 juta, (padahal) gaji cuma Rp 75.000. Pinjam duit Rp 5 juta, bos pun kaget," tutur Hengky kepada Kompas.com, di Jakarta, pertengahan bulan Juli lalu.


Ia mengaku kepada bosnya bahwa uang tersebut akan dibelikan handphone bekas. Kemudian ia mengecat ulang casing ponsel tersebut di bengkel mobil tempat dia bekerja. Alhasil, handphone tersebut laku seharga Rp 7 juta, atau lebih dari uang yang dipinjam dari bos-nya.


Dalam mempertahankan bisnisnya ini, ia pun kembali berutang kepada bos-nya tersebut hingga beberapa kali. Selain itu, demi memuluskan penjualan handphone tersebut, ia juga mengiklankan di koran.


Itulah sekelumit perjuangan Hengky yang sekarang sudah menjadi CEO salah satu perusahaan yang berkecimpung di dunia telekomunikasi Indonesia.


Pemain tiga zaman


Berdasarkan tahun, ia memang telah berkecimpung di bisnis selular minimal dua dasawarsa. Oleh sebab itu, ia pun turut mengalami transisi produk handphone, mulai dari mulai dari NMT (Nordic Mobile Telephone), AMPS (teknologi 1G), dan GSM (teknologi 2G). "Jadi, saya sudah pemain tiga jaman," tambah dia.


Bahkan sebenarnya, kalau dilihat perkembangan teknologi saat ini, ia malah telah berada di generasi ketiga dari handphone dengan teknologi 3G-nya. Eksistensinya dalam industri ini tentu tidak dijalaninya dengan mulus. Seiring dengan karakteristik industri ini yang terus mengalami perubahan teknologi, ia pun membutuhkan dana tambahan untuk mengembangkan usahanya.


Meminjam uang cukup sering dilakukan oleh ayah dengan empat putera ini. Berutang tidak hanya dilakukannya kepada orang lain, orang tua (ibu) pun juga termasuk pihak yang dimintai bantuan dana olehnya. Pinjaman dana kepada ibunya, yang berprofesi sebagai penjahit, tidak serta merta mudah diberikan. Uang diberikan dalam jumlah bertahap dan berbunga. Ia mengaku, bunga tetap dikenakan, karena pada dasarnya ia meminjam untuk modal bisnisnya.


Pinjaman pun pernah ia layangkan kepada bank, khususnya saat ia telah bekerja sama dengan Telkomsel. "Makin hari makin gede (dana yang dibutuhkan). Sudah nggak punya duit lagi, kurang, pinjam ruko, suratnya diagunin ke Bank BCA. Beli ruko dulu Rp 250 juta. Bank nggak percaya kita, (akhirnya) kita cuma dikasih Rp 50 juta doang, (atau) dikasih setengahnya," ujarnya.


Sekitar tahun 1991, atau eranya AMPS, pola binis yang ia lakukan yaitu berjualan nomor telepon, selain handphone. Baru selang beberapa tahun setelahnya, era GSM pun dimulai dengan kehadiran Satelindo. Dengan perusahaan inilah, ia pernah mengalami pahitnya bisnis di industri yang berkaitan erat dengan teknologi ini.


Tepatnya, tahun 1996, ia mendaftarkan diri untuk menjadi dealer resmi Satelindo, dengan nama Satelindo Direct. Waktu itu, ia bersama dengan temannya sebagai mitra, harus mengeluarkan uang senilai Rp 1 miliar untuk mengambil barang. 


Ia pun harus membayar subsidi handset sebesar Rp 350.000 per buah. Ternyata, subsidi tidak kunjung dibayarkan. Ia pun harus menanggung kerugian yang tidak sedikit. Dari kerugian tersebut, harta yang tersisa hanya 20 toko yang akhirnya dibagi rata dengan mitranya itu.


Setelah itu, ia pun bekerja sama dengan Telkomsel, tepatnya pada tahun 1997. Pada saat itulah, Telesindo Shop akhirnya berdiri. Menurutnya, saat itu, produk Telkomsel cukup meledak di pasaran. Harga sebuah nomor bisa mencapai Rp 1 juta. Padahal modalnya hanya Rp 250.000. Dengan keuntungan dari penjualan nomor ini, ia pun terus mengembangkan usahanya dengan menambah tokonya.


Ia mengemukakan ketika Singtel (perusahaan telekomunikasi Singapura) masuk ke dalam Telkomsel, ada perkembangan yang positif yang dihasilkan. Menurutnya, keberadaan Singtel yang membawa pengetahuan mendorong Telesindo untuk berani mempeluas cabang atau gerainya. "Dia (Singtel) ngajarin kita jemput bola. Dia bilang, siapa mau buka 50 gerai, (lalu) saya buka 100 gerai. (Lalu dia bilang) siapa mau buka 100 gerai, (maka) saya buka 200 gerai. Nah itu, saya selalu berbuat lebih dari kompetisi," tuturnya yang mengaku strategi ini sebenarnya telah ia lakukan sejak dulu.


Setelah sukses bekerja sama dengan Telkomsel dengan lima tahun berturut-turut terpilih sebagai best distributor sejak tahun 2006, ia pun mulai masuk ke penjualan handphone buatan Cina pada tahun 2008, yang akhirnya menghasilkan TiPhone (PT Tiphone Mobile Indonesia). Ini merupakan merek handphone ciptaannya sendiri dengan supplier barangnya berasal dari Cina.


Sempat mengalami penjualan yang kurang sukses pada awalnya, kini TiPhone bisa berada di top 5 merek handphone di Indonesia dari 143 yang teregister. Apa yang membuatnya melaju begitu cepat?  Ia pun menjawab, keyakinan!


Ke depannya, Hengky berusaha untuk bertahan di bisnis seluler ini. Mengingat pangsanya masih besar ke depannya. "Telekomunikasi ini lima tahun ke depan masih bagus, (seperti) Singapura (Singtel) sudah mature, (jadi) kunci mereka tumbuh adalah inovasi," tuturnya yang menyebutkan pasar yang sudah tumbuh secara maksimal pun masih bisa berkembang, seperti halnya Singapura dengan jumlah penduduk yang lebih sedikit ketimbang Indonesia.


Terhadap mulai terbukanya pasar di internal ASEAN pada tahun 2015, ia mengatakan tidak akan takut terhadap persaingan dengan pelaku usaha asing. "Nggak (takut). Indonesia ini market yang paling luas, paling besar, dibanding Singapura dan Malaysia," tambah dia.


Sebagai salah satu strateginya, ia menyebutkan, "Kita akan mengikuti market pasar. (Jika) sekarang trennya android dan smartphone (maka) kita ikut. Kalau trennya low-end atau masuk handphone dengan kisaran harga Rp 200.000, (ya) kita ikut. Balik lagi kelima pilar itu," ujarnya yang akan tetap fokus di dunia telekomunikasi ini sembari membuka peluang usaha di bidang lain seperti properti.


Apa itu lima pilar yang katanya sebagai kunci sukses usahanya? Ia mengaku ada lima pilar yang menjadi kunci kesuksesan karirnya. "Memang saya punya prinsip satu adalah keyakinan saya. Pilar kedua adalah harus komit, (diantaranya) komit kepada service center kita, marketing, (hingga) cabang. Pilar ketiga adalah fokus, (pilar) ke-empat adalah inovasi. Kalau kita sudah mentok sini, kita harus inovasi lagi, supaya jangan kita stuck, lima adalah hasilnya," ungkapnya.


Keyakinan baginya teramat penting khususnya dalam memulai usaha. Kalau tidak yakin, lanjut dia, pelaku usaha pun tidak akan sukses. Bahkan, ia mengaku tidak pernah mendapat bekal pendidikan terkait dunia telekomunikasi. "Pendidikan? Nggak ada. Saya selalu belajar baca-baca majalah begini. Kapan saya bisa jadi orang hebat kayak gini, masuk dalam majalah Forbes (dan sejenisnya)," sebutnya.


Lima pilar ini pun tidak hanya ia terapkan pada bisnis atau pekerjaannya. Pilar-pilar tersebut juga diterapkan saat ia menjalani hobinya yang mengkoleksi mobil sedan Mercedes Benz. Alhasil, ia pun berhasil mengkoleksi sejumlah piala dalam perlombaan level nasional. "Jadi beli mobil Mercedes yang cuma Rp 10 juta (dengan kondisi) hancur. Kita bangun lagi sampai sempurna, kayak baru, kayak pabriknya. Nah, itulah komitmen kita," tutur dia.


Dengan pilar tersebut, hobinya pun dapat dijadikan bisnis juga. Ia menyebutkan, ada selisih harga yang cukup jauh ketika membeli mobil tua dengan harga murah kemudian diperbaiki, dengan harga mobil yang dibeli baru dari toko. Kelima pilar ini pun mengantarkannya meraih berbagai penghargaan. "Terakhir, saya juga baru dapat dari Kompas Group, lifetime achievement. itu suatu kebanggaan buat saya," ungkap dia.


Tidak hanya itu, ia juga mendapatkan penghargaan sebagai 10 toko yang berpengaruh di Indonesia pada tahun 2009, dari majalah Techlife. Untuk itu, ia berkeyakinan untuk terus mengembangkan penjualannya. "Kita harus mengembangkan reseller-reseller kita. Hari ini reseller kita masing-masing sudah mempunyai reseller binaan ya, toko-toko. Kita sudah 100.000 toko. akhir-akhir tahun ini kita 300.000," sebut dia, yang juga menyebutkan gerai-gerainya telah tersebar dari Sabang hingga Merauke.


Target tahun 2012, ia mengaku akan membuka lebih dari 1.000 gerai. Bahkan, ia pun berencana akan melakukan penawaran saham perdana (IPO) pada bulan Desember ini. IPO dilakukan demi memperbesar usahanya. "(Bulan) Desember inilah kita sudah go-public. Bulan depanlah kita daftar ke Bapepam-LK, Kita hitung rasio audit kita dulu," kata dia.


Selain ini, ia juga berencana mengakuisisi perusahaan sejenis. Namun, ia belum dapat detailnya seperti apa. Target pribadi lainnya, ia berharap bisa masuk dalam top 10 CEO yang dikeluarkan oleh sebuah majalah dan konsultan riset terkenal dalam waktu terdekat ini. Sebelumnya, ia berhasil masuk dalam jajaran 20 besar dengan berada di posisi ke-19. Posisinya pun melonjak menjadi peringkat ke-11 pada tahun 2010.


Sebagai tambahan kunci kesuksesan, ia pun menyebutkan kebiasaan bangun pagi juga penentu keberhasilan. Kini, hal ini diterapkan bagi keempat anaknya, termasuk kepada anaknya yang masih berusia di bawah lima tahun

Mendulang Untung dari Rangkaian Tulang-belulang


Tulang unggas, tulang ikan, hingga tulang sapi yang biasanya jadi sampah ternyata ada gunanya juga. Lihat saja, di tangan Beni Tri Bawono, tulang ternyata bisa dimanfaatkan menjadi sebuah karya seni yang dapat mendatangkan rupiah. Dari tulang itu pula, Beni mampu menciptakan miniatur sepeda, sepeda motor, naga, dan aneka perhiasan.


Kerajinan tulang sapi atau kerbau sudah populer di Bali. Namun, siapa yang mengira tulang belulang ayam atau ikan ternyata juga bisa menjadi karya seni yang menarik dan mampu menyedot rupiah. Tapi, itulah yang dibuktikan oleh Beni Tri Bawono, perajin tulang asal Boyolali, Jawa Tengah.


Di tangan terampil Beni, tulang-belulang yang mestinya tak berguna itu bisa berubah wujud menjadi miniatur becak, miniatur sepeda, miniatur Harley Davidson, hingga miniatur kapal layar dan patung naga sepanjang 1,5 meter dan tinggi 80 cm.


Beni mengungkapkan, awal mula dia bergelut dengan tulang-belulang itu setelah dia kehilangan pekerjaan pada 1998 silam. Nah, agar tak menjadi pengangguran, Beni pun berinisiatif beternak lele.
Namun, inisiatif itu bubar setelah usai menguras kolam lele, Beni malah menemukan tulang-belulang ayam dan unggas bekas pakan lele. Di benak Beni ketika itu, tulang belulang itu bisa dirangkai menjadi aneka miniatur yang menarik. "Sejak itulah pergumulan saya dengan tulang dimulai," ujar Beni.


Beni mengaku tidak kesulitan mendapatkan tulang untuk bahan baku kerajinannya. Karena di kedai-kedai di sekitar rumahnya limbah tulang ini sangat berlebihan. Apalagi Beni juga menggunakan tulang selain ayam, seperti tulang ikan hingga tulang bebek.


Cara Beni membuat miniatur juga unik. Dia mau tak mengubah bentuk tulang namun dia menyesuaikan bentuk tulang itu dengan miniatur yang ingin dia ciptakan. Misalnya, sadel motor, dia ciptakan dari punggung ayam, ban sepeda dari tulang leher, jeruji dibuat dari patahan tulang sayap, sedangkan kemudi dari tulang bebek.


Proses menggabung-gabungkan aneka tulang itu tentu memakan waktu. Beni mengungkapkan, untuk membuat miniatur sepeda saja, dia setidaknya butuh waktu hingga 15 hari lamanya. Adapun untuk bentuk naga yang lebih rumit, pengerjaan bisa sampai empat bulan lamanya.


Proses pembuatan miniatur itu sendiri diawali dengan membersihkan tulang dari sisa-sisa daging. Untuk menghemat tenaga, hasil berburu tulang pada malam hari di warung-warung makan itu dia lemparkan ke kolam lele di belakang rumahnya.


Setelah tiga hari, tulang itu diangkat dan direndam dalam air berformalin selama sehari semalam. Selanjutnya tulang-tulang dijemur hingga kering dan berwarna putih sambil sesekali disemprot formalin.
Nah, tulang yang sudah benar-benar kering kemudian direkatkan dengan lem sesuai dengan motif tulang. Setelah jadi, sebagai sentuhan akhir, rangkaian itu disemprot dengan cairan pembersih dan disapu dengan pewarna mutiara. Untuk memberi nilai tambah pada produknya, kerajinan itu dimasukkan ke dalam kotak kaca.


”Kotak kaca ini juga kami potong sendiri dan sengaja dibentuk agar bisa dibuka. Ini supaya miniatur mudah dibersihkan dengan menyemprotkan pembersih saja. Asal tidak berada di tempat lembap, kerajinan ini bisa tahan lama,” kata Beni.


Meski terbilang unik, Beni mengaku pemasaran produk miniatur dari tulang ini masih tertatih-tatih. Ia baru bisa berharap dari pameran ke pameran yang biasanya diadakan di Yogyakarta atau di Jakarta. "Biasanya sekali ikut pameran bisa laku hingga 15 unit," ujar Beni.


Beni sendiri bercita-cita punya galeri untuk karya seninya itu. Tapi sayang, modalnya belum ada. "Untuk membuat karya yang dipamerkan di Jakarta saja, saya sudah habis-habisan. Uang hasil jualan lele nyaris semuanya dipakai untuk modal membuat kerajinan,” keluh Beni.


Beni menjual karya miniatur yang termurah seharga Rp 250.000 hingga Rp 1 juta. Namun, untuk miniatur naga dia membanderol harga mulai Rp 2,5 juta hingga Rp 10 juta, tergantung tingkat kerumitan. Menurut Beni, harga yang sedemikian tinggi itu merupakan penghargaan atas kreativitasnya.


Meski pemasaran secara langsung tertatih-tatih, Beni tak patah arang. Dengan dibantu sepupunya, Beni menawarkan aneka miniatur itu melalui internet. Di dunia maya itu, Beni membuat blog yang berisi foto-foto dan narasi singkat tentang kerajinan tulang produknya dalam http://www.boneart-tlatar.blogspot.com dan www.boneart-tlatar.blogspot.com.


”Saya tetap merasa kerajinan ini unik dan bernilai tinggi. Saya berharap setelah pemasarannya bisa lebih luas, saya bisa mengajak orang-orang di kampung untuk ikut membuatnya. Sepanjang ada kreativitas, pasti ada jalan,” tukas Beni penuh semangat.


Lain halnya dengan perajin tulang asal Bali, Ida Bagus Made Astika. Namun perajin ini menggunakan tulang sapi atau kerbau untuk digunakan sebagai bahan baku pembuatan perhiasan. "Dari tulang itu saya bisa menciptakan anting-anting, dan gelang," ujar Astika.


Astika mengaku, kerajinan tulang buatannya itu banyak diminati konsumen domestik maupun turis mancanegara. "Biasanya dalam sebulan saya mampu menjual anting-anting seharga Rp 300.000 sebanyak 20 pasang," ucap Astika.


Pasar kerajinan tulang ini paling besar memang datang dari mancanegara. Bahkan, saat sebelum krisis 2008, Astika mampu mengekspor anting-anting tulang hingga Amerika Serikat dan Eropa. Sekali ekspor dia bisa mengirim 8.000 pasang, namun sekarang hanya bisa mengirim 100 sampai 1000 pasang saja

Thursday, September 15, 2011

Ternyata Bisnis Jamur Semakin Menjamur


 Dari sekian banyak jenis kudapan, jamur adalah salah satu penyumbang protein terbesar. Tak heran, banyak orang kini mulai mengolah jamur sebagai camilan atau pelengkap masakan.
Semakin populernya jamur sebagai kudapan tentu membuat para pebisnis ingin meraup untung dari jualan jamur ini. Agar lebih laku dan rasa lebih lezat, para pebisnis itu melakukan berbagai inovasi dalam mengolah jamur.


Beberapa pewaralaba yang pernah diulas KONTANpun mengaku terus berinovasi dalam pengolahan jamur. Mereka bilang, inovasi menjadi kunci sukses mereka mengembangkan waralaba.
Nah, untuk mengetahui perkembangan bisnis waralaba makanan berbahan jamur, berikut adalah ulasannya.



• Jamur Crispy Anto Sastrowidjojo, pemilik CV Haweka Media Utama di Bandung, mulai membuka usaha camilan jamur dengan merk Jamur Crispy sejak 2006 silam. Lantaran makin banyak permintaan kerjasama, ia pun mulai menawarkan kemitraan Jamur Crispy.
Penjelasan Anto kepada KONTAN pada awal 2010 lalu, dia baru memiliki dua cabang milik sendiri dan 200 mitra di berbagai kota di Indonesia.


Anto menawarkan dua paket kemitraan. Yakni, Paket Gerobak senilai Rp 8,8 juta dan Paket Kios seharga Rp 15,5 juta. Dalam setiap paketnya, mitra akan mendapatkan booth dan berbagai peralatan masak, pelatihan karyawan serta konsultasi usaha.


Perbedaan antara kedua paket kemitraan tersebut terletak pada kelengkapan peralatan masak. Pada Paket Kios, mitra akan mendapat meja dan kursi untuk konsumen karena konsepnya bisa makan di tempat dengan tambahan menu nasi.


Anto tak mengutip biaya royalti, hanya saja mitra harus membeli bahan baku dari dia. Untuk mitra di Bandung, Anto akan memasok jamur, bumbu, tepung, dan kemasan. Sementara, mitra di luar Bandung bisa membeli jamur di daerahnya masing-masing.


Kini Anto menambah dua paket lagi, yakni Paket Hemat dan Paket Resto. Paket Hemat ini dengan nilai investasi Rp 5,7 juta. Perbedaan dengan paket lainnya, Paket Hemat menggunakan gerobak yang lebih kecil yang terbuat dari aluminium dan triplek.


Dengan paket murah ini, Anto pun berhasil menarik 100 mitra baru. "Dulu, mereka ingin bergabung, tapi modalnya tidak cukup," ujarnya.


Adapun untuk Paket Resto, Anto meminta mitra menyediakan investasi sebesar Rp 39 juta. "Paket terbaru ini akan kami tawarkan di pameran pada November nanti," tegasnya. Ia sendiri telah membuka dua restoran jamur ini di Bandung dengan nama King of Mushroom.


Menurut Anto, resep untuk mengembangkan kemitraan adalah inovasi terus-menerus pada produk. Tahun ini, ia sudah menyiapkan 100 menu baru. Ia juga berharap, mitra mengikuti aturan dan prosedur yang ditetapkan pusat supaya bisa bertahan. "Saya berani garansi, asal ikut prosedur pasti akan bertahan," tegasnya.


Meski begitu, Anto tetap mengingatkan mitra untuk memilih lokasi yang tepat. Menurutnya, lokasi penjualan Jamur Crispy yang tepat adalah di tempat ramai, seperti mal, pelataran mini market, sekolah, dan kampus.


Untuk menentukan lokasi terbaik, Anto memberi nilai atas lokasi yang diajukan si mitra dengan skala lima (lokasi terburuk) hingga sembilan (lokasi strategis). Terbukti para mitra yang bisa memperoleh omzet sekitar Rp 300.000-Rp 400.000 per hari adalah mitra yang membuka lokasi di daerah yang strategis.



• Jamur Kriuk Produk jamur Kriuk diluncurkan Fatoni melalui CV Manggala Karya Abadi, pada 2009 lalu. Variasi menunya antara lain barbeque, balado, dan keju.


Toni menggunakan jamur tiram putih yang digoreng dalam balutan tepung terigu. Sehingga, menghasilkan jamur yang crispy alias kering dan rasanya pun seperti ayam goreng.


Dibandingkan dengan saat diliput KONTAN pada akhir 2010, pertumbuhan mitra Jamur Kriuk cukup pesat. Kalau pada saat itu hanya punya 120 mitra, kini berkembang menjadi 200 mitra. Makin banyaknya mitra yang bergabung karena Toni rajin membuat perubahan dan perbaikan.


Sebelumnya, Toni hanya menyediakan dua tipe investasi, khusus Jawa Tengah sebesar Rp 5,75 juta, sedangkan di luar Jawa Tengah senilai Rp 6,475 juta. Saat ini, khusus paket luar Jawa Tengah dikenakan biaya Rp 7 juta. "Ini menyesuaikan dengan kenaikan beberapa harga peralatan," tegasnya.
Selain itu, ada inovasi produk pasta jakri atau pasta plus jamur kriuk untuk meningkatkan nilai jamur di mata publik. "Kalau dulu kan jamur masih dianggap sebelah mata," tambahnya. Produk ini resmi ditawarkan mulai 16 Juli 2011.



• Jamur Crunchy
Jamur Crunchy didirikan oleh Satrio Hartono pada 2008 di Surabaya. Produk Jamur Crunchy berupa jamur tiram yang digoreng garing dan terasa renyah.


Pada awal 2010, Satrio hanya memiliki lima booth penjualan dan 30 mitra yang tersebar di Sidoarjo, Malang, Surabaya, dan Jakarta.


Dengan investasi Rp 7 juta, mitra akan mendapat perlengkapan penjualan termasuk booth, peralatan memasak, branding, dan bahan baku sebanyak 150 pak.


Satrio mengaku tidak mengutip biaya kemitraan, royalti, maupun biaya promosi. Jadi, selain dana investasi, mitra hanya perlu menyediakan tempat strategis untuk berjualan, yakni ramai dengan akses yang mudah.


Mitra juga tak harus membeli jamur dan tepung darinya. Namun, Satrio siap memasok jamur mentah jika mitra mengalami kesulitan pasokan dengan harga relatif lebih murah dari harga pasar.


Satrio hanya mengharuskan mitra membeli bumbu darinya dengan harga Rp 14.000 per bungkus. Ini untuk menyamakan dan menjaga kualitas rasa jamur Crunchy.


Sayangnya, sejak 2010 itu, mitra Jamur Crunchy hanya bertambah 10 atau menjadi 40 mitra. Menurut Satrio, lambatnya pertumbuhan itu lantaran kurangnya inovasi produk. "Karena itu kami sedang mempersiapkan inovasi baru," ujarnya. (Ragil Nugroho, Fahriyadi/Kontan)

Aswan, Sukses Usaha Bermodal Duit Pesangon


Menjadi korban PHK tidak selamanya membuat nasib terpuruk. Justru setelah PHK, Aswan Nasser sukses berwirausaha di bidang perlengkapan bayi bermerek La Vindhy Children & Baby Wear. Kini Aswan mampu mencatat omzet sekitar Rp 100 juta per bulan. Bahkan dia sudah ekspor produknya itu ke Afrika Selatan.


Membangun usaha dari hasil jerih payah sendiri memang tak semudah membangun usaha hasil warisan. Hal itulah yang dirasakan Aswan Nasser, pemilik merek La Vindhy Children & Baby Wear yang merintis usaha perlengkapan bayi pada tahun 2004.


Walaupun sulit, Aswan membuktikan dengan kerja keras ia bisa membangun usahanya itu. Kini, Aswan sudah memiliki tiga gerai penjualan perlengkapan bayi di Bandung, Jawa Barat. Selain itu, Aswan juga memasok perlengkapan bayi ke sejumlah toko dan department store yang ada di Bandung hingga Jakarta.


Tak puas hanya menjadi produsen kelas lokal, sejak beberapa tahun silam, Aswan merintis ekspor perlengkapan bayi merek La Vindhy Children & Baby Wear ke Afrika Selatan dan Hongkong. "Butuh waktu juga untuk bisa ekspor itu," kata Aswan.


Namun dari semua cerita sukses itu, yang membuat Aswan senang adalah dia bisa memberi kesempatan kerja pada orang lain. Lihat saja, usahanya yang kini beromzet sekitar Rp 100 juta per bulan itu, telah mampu menampung sebanyak 32 pekerja.


Aswan mengungkapkan, sebelum terjun ke dunia bisnis, dia adalah karyawan Bank Exim sejak tahun 1987. Dia bekerja di bank milik pemerintah itu selama 13 tahun lamanya. Bahkan saat bank itu merger menjadi Bank Mandiri, Aswan menyandang jabatan Asisten Wakil Direktur Bank Exim.


Karena merger itu pula, Aswan pun harus rela kehilangan pekerjaan alias terkena PHK. "Jabatan itu ternyata tidak lama, karena saya keburu di PHK," kenang Aswan.


Setelah PHK, Aswan sempat kebingungan lantaran jadi pengangguran. Walaupun ada niat ingin bekerja tetapi krisis ekonomi membuat lowongan pekerjaan di perbankan menjadi terbatas. "Saya sempat kebingungan, saya itu mau ngapain," jelas pria kelahiran Semarang, Jawa Tengah itu.


Karena terdesak kebutuhan ekonomi, Aswan memutuskan untuk berdagang. Dengan modal uang pesangon, Aswan memulai jualan seprai serta bed cover. Bersama sang istri, Aswan menjajakan seprai kepada para kolega dan teman-temannya. Walaupun labanya menggiurkan, tetapi seprai itu hanya laris pada waktu tertentu saja alias musiman. "Penjualan ramai hanya bulan puasa saja," keluh Aswan.


Setahun lamanya Aswan bertahan dengan berjualan seprai. Hingga akhirnya, ia memutuskan banting setir menjual produk lain yang lebih menguntungkan dan lebih banyak peminat, yakni berjualan pakaian dan perlengkapan bayi. "Selama masih ada bayi yang lahir, selama itu juga pakaian dan perlengkapan bayi akan dibutuhkan," ungkap Aswan.


Agar fokus untuk berjualan pakaian bayi, Aswan memboyong keluarganya tinggal di kota Bandung. Tujuannya agar bisa lebih dekat dengan produsen perlengkapan bayi yang banyak terdapat di Kota Kembang itu.
Dengan modal sebesar Rp 75 juta, sisa pesangon yang tersisa, Aswan pun serius menggarap usaha pakaian dan perlengkapan bayi itu. Aswan menjual perlengkapan bayi dengan cara memasarkannya dari toko ke toko hingga masuk ke department store.


Setelah mendapatkan langganan, Aswan mendapat batu sandungan. Produsen tempat ia mengambil perlengkapan bayi enggan memberikan barang kepadanya. "Pasokan barang sempat terhenti," ujar Aswan.


Demi menjaga nama baik kepada pelanggan, Aswan memutuskan untuk memproduksi pakaian bayi dengan membuka konveksi sendiri. Ia membeli mesin jahit dan mencari tenaga kerja terampil yang banyak di kota Bandung. "Saya nekat memproduksi perlengkapan bayi sendiri," kata alumni Universitas Diponegoro itu.


Bak gayung bersambut, keputusan Aswan memproduksi perlengkapan bayi mendapat sambutan baik dari sang istri tercinta Sri Gamawati. Kebetulan, Sri mahir menjahit pakaian tetapi bukan pakaian bayi.
Sembari belajar menjahit pakaian bayi, Sri mengkoordinir penjahit terampil asal Bandung untuk memproduksi aneka celana, baju, kaus kaki, dan sepatu untuk bayi. "Istri saya yang memproduksi, saya yang menjual," ungkap Aswan.


Sarjana dari penjualan kopi
Pengalaman berdagang semasa kuliah menyelamatkan Aswan Nasser dari kesulitan akibat kena PHK. Dengan pengalaman jualan kopi saat kuliah, pria 44 tahun itu merintis usaha perlengkapan bayi La Vindy Children & Baby Wear di Bandung. Namun merintis usaha memang tak mudah.
Bekerja belasan tahun di perbankan ternyata tidak menghapus jiwa entrepreneur Aswan Nasser, produsen La Vindy Children & Baby Wear, produsen pakaian dan perlengkapan bayi di Bandung, Jawa Barat.


Bakat sebagai seorang wirausahawan itu justru semakin kentara ketika Aswan harus kehilangan pekerjaan. Awalnya memang tertatih-tatih, namun Aswan akhirnya mampu membangun bisnis pakaian dan perlengkapan bayi tersebut.


Sebenarnya, Aswan memang tak buta sama sekali tentang dunia usaha. Bagaimana pun, pengalamannya sebagai bankir tentu juga bersentuhan dengan dunia usaha. Apalagi Aswan punya pengalaman sebagai penjual kopi ketika dia masih kuliah di Universitas Diponegoro (Undip), Semarang. "Saat kuliah, saya sudah berjualan. Jadi sudah terbiasa," kata Aswan.


Saat menimba ilmu itu, Aswan sudah nyambi dengan menjadi penjual kopi bubuk produksi orang tua sahabatnya. Ketika itu, dia hanya bermodal semangat. Namun dengan semangat itu pula, Aswan mampu berjualan kopi hingga ke Tegal, Pekalongan hingga ke Cilacap.


Bahkan, dia mengaku keasyikan berjualan sehingga sempat melupakan kuliah. "Sampai-sampai kuliah kerap bolos," kata Aswan dengan tawa mengembang. Dari laba jualan kopi itulah, Aswan mendapatkan tambahan uang saku dan juga untuk ongkos kuliahnya.


Walaupun orang tua Aswan terbilang mampu, Aswan tidak ingin merepotkan mereka. "Awalnya cuma coba-coba ternyata menguntungkan," jelas Aswan.


Nah, setelah jadi pengangguran, Aswan benar-benar mensyukuri pengalamannya berjualan kopi di masa lalu itu. Dari pengalaman itu pula, Aswan kembali tegak berdiri menyongsong masa depannya. "Pengalaman itu menjadi bekal saya sekarang ini," imbuh Aswan.


Aswan mengakui memulai usaha itu memang berat. Bisnis sebagai produsen dan pedagang aneka produk perlengkapan bayi, memang tak selalu bisa berjalan mulus. Bahkan ketika usaha sudah mulai berkembang sekalipun.


Ketika itu, Aswan mengenang, sempat kehabisan stok barang akibat produsen pakaian dan perlengkapan bayi langganannya menghentikan pasokan barang kepadanya. Karena tidak punya produk yang bisa dijual, usaha Aswan pun sempat goyah.


Namun bagi Aswan, merenungi masalah tak akan menyelesaikan persoalan. Karena itu, dia justru mengubah masalah itu menjadi peluang.  Untuk menyelesaikan masalah pasokan tersebut, Aswan memutuskan memproduksi sendiri aneka perlengkapan bayi itu. "Masalah saya jadikan peluang," tegas Aswan.


Saat merintis produksi perlengkapan bayi itu, Aswan menyewa sebuah rumah di Bandung. "Saya dan istri belajar tiga bulan agar bisa membuat perlengkapan bayi itu," terang Aswan.


Pertama kali produksi, Aswan bersama istrinya dibantu seorang karyawan. Dalam sepekan, Aswan mampu memproduksi 40 lusin pakaian bayi. "Hasil produksi itu saya pasarkan ke department store," kenang Aswan.
Setelah produksi berjalan lancar, halangan usaha ternyata belum berhenti. Aswan mengenang, ketika itu ada seorang pembeli yang gagal bayar pesanan senilai Rp 14,4 juta.


Sedikitnya ada 20 lusin tas perlengkapan bayi yang ia produksi menumpuk di rumahnya karena pembeli membatalkan pemesanan. "Hal ini membuat putaran modal saya terhenti," kata Aswan mengenang. Tak hanya itu, Aswan sempat merugi karena pesanan produk yang telah diproduksi itu ternyata tidak sesuai dengan pesanan.


Demi menjaga kepercayaan pembeli pula, Aswan pun rela merugi dengan mengganti semua pesanan yang tak sesuai dengan keinginan pelanggan itu. "Daripada hilang pelanggan, lebih baik keuntungan berkurang," ungkap Aswan.


Menurut Aswan, untuk menjadi pengusaha tangguh pantang patah arang, halangan-halangan usaha seperti yang pernah dia alami adalah sesuatu yang biasa. Ia juga yakin rintangan itu juga bisa terjadi pada pengusaha lain.


Rekrut penjahit pemula
Sukses menjadi pemasok perlengkapan bayi ke departement store membuat Aswan Nasser makin berambisi meluaskan usaha. Setelah membuka tiga gerai di Bandung, La Vindhy telah mempunyai empat terwaralaba. Kini Aswan juga sedang mempersiapkan pembukaan cabang baru di Solo dan Semarang.


Terampil melakukan penjualan membuat usaha pakaian dan peralatan bayi milik Aswan Nasser berkembang pesat. Hingga kini ia telah menjadi pemasok di 30 departement store yang tersebar di Pulau Jawa.


Tidak hanya itu, Aswan juga mulai meninggalkan ketergantungan dari pemasok dan mulai serius membuat produk sendiri. Nah, begitu mempunyai produk sendiri, Aswan pun membuka gerai yang dia beri nama La Vindhy Children & Baby Wear di Bandung. "Hingga sekarang saya sudah memiliki tiga gerai, seluruhnya ada di Bandung," kata Aswan.


Agar usahanya bisa berkembang, Aswan dalam waktu dekat berencana untuk mendirikan cabang di kota Solo dan kota kelahirannya, Semarang, Jawa Tengah.


Selain itu, tahun lalu, Aswan juga menawarkan usaha waralaba perlengkapan bayi ini kepada khalayak. tak tanggung-tanggung, usaha waralaba yang ditawarkan Aswan adalah waralaba konveksi dan waralaba toko.
Untuk waralaba konveksi, Aswan sudah memiliki dua terwaralaba, semuanya dari Jawa Barat. Untuk waralaba konveksi itu, Aswan menawarkan paket investasi sebesar Rp 43 juta.


Investor yang berinvestasi pada waralaba konveksi itu akan mendapatkan dua mesin jahit, mesin potong kain, bahan baku, serta pelatihan usaha.


Sedangkan hasil produksi dari konveksi bisa dijual lewat gerai-gerai La Vindhy. Hitungan Aswan, setidaknya 60 persen produksi terwaralaba konveksi itu dijual lewat toko La Vindhy. Sedangkan, "40 persen sisanya dijual ke pasar umum," terang Aswan.


Namun, penambahan pasokan perlengkapan bayi dari terwaralaba konveksi itu tidak semerta-merta mampu melayani seluruh permintaan. "Kami baru bisa melayani 25 persen dari total permintaan," terang Aswan.
Untuk melayani semua permintaan, Aswan berencana menambah penjahit untuk konveksi miliknya sendiri. 


Namun, untuk menghemat biaya, Aswan tidak mencari penjahit profesional. Ia malah mencari pejahit pemula.
Untuk mencari penjahit pemula, Aswan membuat program kursus menjahit gratis di sebuah perkampungan di pinggiran kota Bandung. "Program kursus menjahit gratis ini sedang berjalan," ungkap Aswan.


Peserta kursus menjahit yang dicari Aswan itu berasal dari pengangguran yang ada di perkampungan itu. Setelah diberi kursus dan mahir dalam menjahit, maka peserta itu bisa mendirikan usaha menjahit sendiri atau ikut bergabung dengan konveksi miliknya.


Jika program itu berhasil, maka Aswan tidak hanya mampu menambah produksi dengan menambah tenaga kerja dari penjahit pemula itu. Ia bisa berbangga hati karena ikut membantu tugas pemerintah dalam mengentaskan kemiskinan dan mengurangi pengangguran. "Seharusnya program ini mendapat dukungan dari pemerintah," harap Aswan.


Dalam membuat perlengkapan bayi, Aswan mengaku membuat produk yang berkualitas. Sebab, pria asli Semarang itu membidik segmen pasar kelas menengah atas.


Namun soal harga, ia berani menjamin harga yang bersaing. Ia memberi contoh, harga gendongan bayi dijual Rp 21.000 hingga Rp 50.000 per potong. Untuk tas bayi dijual Rp 24.000 - Rp 75.000 per potong, sedangkan baju bayi dijual Rp 60.000 per lusin. "Kami memberikan jaminan kualitas," klaim Aswan.


Adapun untuk paket waralaba toko perlengkapan bayi, Aswan mematok nilai investasi sebesar Rp 15 juta. Sejak ditawarkan tahun lalu, kini Aswan sudah mempunyai dua terwaralaba toko perlengkapan bayi. Kedua terwaralaba itu membuka gerai di Bandung.


Walaupun belum banyak yang menjadi terwaralaba, tapi Aswan mengaku tetap menjaga kondisi bisnis terwaralabanya. Ia mengklaim, setelah satu tahun bisnis waralaba berjalan, ia tidak menemukan adanya kendala. "Ini bukti usaha kami mengutungkan, karena tidak ada terwaralaba saya yang merugi," terang Aswan