Tuesday, September 21, 2010

Omzet Kelontong di Kapal Puluhan Juta


Selasa, 7 September 2010 | 13:58 WIB

Sabrina Asril
Frans (38), penjual di kios KM Gunung Dempo, meraih banyak keuntungan akibat lamanya perjalanan laut.



KOMPAS.com — Melayani rute perjalanan panjang di laut, KM Gunung Dempo memberikan keuntungan tersendiri bagi para pedagang di kapal dengan rute Tanjung Priok-Merauke ini. Dalam sekali perjalanan, penjual di kios KM Gunung Dempo bisa meraih omzet hingga Rp 30.000.000!"Kalau sekali jalan pulang pergi, omzet bisa sampai Rp 30.000.000. Itu buat 14 hari di laut," ujar Frans (38), pedagang toko kelontong, Senin (6/9/2010) di KM Gunung Dempo, yang melayani rute Tanjungpriok-Surabaya-Makassar-Ambon-Sorong-Biak-Jayapura.


Melalui toko yang sudah dikelolanya sejak tahun 1998, Frans menjual makanan dan minuman, pakaian, perlengkapan mandi, serta pulsa. Menjelang Lebaran ini, Frans mengaku omzetnya meningkat hingga 30 persen.Menurutnya, pemasukan yang didapat dari berjualan di kapal laut relatif stabil. Hal ini dikarenakan perjalanan yang panjang membuat penumpang pasti membutuhkan sesuatu untuk dibeli.


Selama 12 tahun hidup di laut, Frans pun sudah mengetahui siklus penumpang kapal yang bisa membuat pedagang seperti dirinya meraup keuntungan. "Biasanya perjalanan Jakarta-Surabaya ini tidak terlalu ramai orang beli di kios karena masih ada bekal yang cukup dari rumah. Namun, selepas Makassar sampai ke timur itu akan semakin ramai. Orang akan beli barang di kapal," ujarnya.


Banyaknya warga asal Indonesia timur yang berbelanja di kapal ini terjadi lantaran harga barang-barang di darat sangat tinggi. Sebagai contoh, air mineral ukuran 2 liter dijual di Papua bisa mencapai Rp 20.000. Pakaian pun tak luput diserbu para penumpang dari Indonesia timur ini. Pasalnya, menurut Frans, harga pakaian di Indonesia timur bisa lebih mahal 100-150 persen dibandingkan harga di Indonesia bagian barat.
"Kalau sudah sampai di timur, balik lagi, langsung habis ini stoknya. Kami ambil barang lagi pas mendarat di Surabaya," ungkap pria mualaf keturunan Tionghoa tersebut.


Benda langka lain yang diserbu penumpang adalah pulsa. Komunikasi menjadi sebuah kebutuhan utama, tetapi sangat langka di tengah laut. Dengan berdagang pulsa, Frans mengaku meraih keuntungan hingga 80 persen dari harga yang didapat dari penyuplai. Omzet penjualan pulsa untuk sekali perjalanan pulang pergi pun bisa mencapai Rp 7.000.000 hingga Rp 8.000.000.Tidak mengherankan karena pulsa yang dijual Frans harganya bisa Rp 8.000 lebih mahal daripada nominal pulsanya.Alhasil, meski bisa berbulan-bulan berada di tengah lautan dan jauh dari keluarga, Frans yang lulusan Universitas Negeri Lampung ini kini mampu membuka kios telepon seluler di Surabaya serta mulai berbisnis tanah dan sapi.

No comments:

Post a Comment